Perempuan dan Pandemi Covid-19
Oleh: Ramlah Laki
Ramadhan telah kita lalui bersama dengan penuh suka cita dan telah memeluk hari kemenangan dengan penuh kidmat dan berbeda, namun tidak mengubah makna dari ramadhan itu sendiri. Dua bulan lebih Indonesia bergelut melawan covid-19 yang tentunya bukan hal yang mudah bagi seluruh elemen masyarakat, terkhusus bagi tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam penanganan pasien yang terjangkit covid—19 maupun pasien yang dalam pengawasan.
Dalam tulisan singkat ini penulis mengurai sejumlah fakta tentang upaya pencegehan dan penanganan Covid-19. Upaya pencegahan penularan covid-19 tidak hanya di Indonesia namun juga terjadi di Negara-negara besar di dunia. Berdasarkan informasi gugus Tugas Covid-19 pertanggal 27 Mei 2020 Indonesia mencapai 23,851 jiwa yang terkonfrimasi. Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan data Dinas Kesehatan Sulteng pertanggal 27 Mei 2020 mencapai 120 jiwa yang terkonfirmasi, pasien yang dinyatakan sembuh 50 orang dan meninggal empat orang. Dari tiga belas kabupaten dan satu kota di Sulawesi Tengah, Buol adalah kabupaten penyumbang tertinggi pasien terkonfirmasi covid-19 dengan jumlah mencapai 50 jiwa, dan menyusul kota Palu dengan jumlah 19 jiwa terkofirmasi, kemudian Morowali Utara 13 orang terkonfimasi, menyusul kabupaten Toli-toli 11 jiwa terkonfirmasi, kemudian Poso dengan jumlah pasien terkonfirmasi 10 jiwa, lalu Morowali 7 jiwa terkonfrimasi, kemudian Banggai empat orang dan Sigi tiga orang terkonfirmasi,. Dalam Upaya pencegahan ini pemerintah tidak hanya meluncurkan anggaran milyaran rupiah untuk pemenuhan APD juga pemenuhan bantuan sembako melalui anggaran dana desa maupun APBD dan APBN, namun terlepas dari upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut semakin memicu polemik dan kriris sosial di tengah masyarakat khususnya masyarakat desa.
Dalam catatan kecil penulis, beberapa keluhan sering terdengar, bahkan terjadi didepan mata di desa dan beberapa desa tetangga. Tentang bantuan covid yang tidak tersalurkan secara merata kepada masyarakat kecil. Tentunya hal ini tidak hanya terjadi di kampung dan desa-desa tetangga tetapi juga terjadi hampir diseluruh desa di Indonesia. Di televisi, salah satu desa di Pulau Jawa yang tidak mendapatkan bantuan covid-19, memicu kepala desanya terpaksa turun langsung memimpin demo karena desanya tidak tersentuh bantuan dari Negara. Di bagian lain, ada ada desa mengakomodir PNS, atau ASN, Wiraswasta bahkan keluarga kepala desa mendapatkan bantuan yang diterimanya melalui rekening pribadi atau bahkan menerimanya di kantor Pos.
Ditengah polemik covid-19 yang dihadapi Indonesia, tentunya menjadi renungan bagi pemimpin negeri ini atau calon pemimpin negeri ini bahwa betapa miskinnya negara kita. Masyarakat kita tidak hanya memperebutkan uang Rp. 600.000, pun memperebutkan sembako. Bila kita melihat secara luas bahwa Indonesia adalah negara yang kaya. Kita pernah dengar lagu tanah kita sangat kaya, dari gunung, lautan, tanah semua menjadi emas. Namun pada kenyataannya kita masih berebut makanan.
Terlepas dari semua polemik covid-19, perempuanlah yang mendapatkan dampak yang paling berat dalam situasi ini. Bagaimana tidak, dalam sebuah kehidupan, dimana harga sembako yang semakin melangit, perempuan yang berhadapan langsung dengan pemenuhan kebutuhan dan situasi harus berusaha tetap tegar sekuat karang dilautan, memutar otak agar asap dapurnya tetap mengepul. Kisah ibu Ula, yang ditinggal mati suaminya harus menghidupi tiga orang anaknya yang masih kecil dengan mencoba bertahan dengan usaha jahit atau taylor ditengah wabah panndemi Covid-19 walaupun kini ditinggal pelanggan. Kini usahanya sepi, sesepi hatinya sejak kepergian almarhum suaminya beberapa tahun silam. Belum lagi memenuhi permintaan baju baru dari ketiga anaknya untuk dipakai dihari lebaran. Kisah serupa juga dirasakan oleh ibu Mahani, ia kesulitan menghidupi enam orang anaknya usai suaminya menjadi salah seorang pekerja yang terpaksa dirumahkan akibat Covid-19.
Dari cerita diatas mampukah kita memperebutkan hal-hal yang didalamnya terdapat hak-hak orang lain, hak-hak anak yatim, janda tua renta. Lantas siapakah kita ini di mata Tuhan yang berani mengambil hak-hak orang lain.
Penulis: Ketua Sekolah Perempuan Sivia Patuju Kabupaten Tojo Una-Una