Perempuan Desa Ditengah Pandemi Covid-19
Oleh: Ramlah Laki
Kurang lebih tiga bulan Indonesia dilanda pandemi virus corona. Sejak bulan maret sampai Mei angka jiwa terinfeksi virus corona terus meningkat. Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Republik Indonesia, Achmad Yurianto – Update virus corona di Indonesia per Jumat (29/05/2020), naik menjadi 678 kasus baru, dan total 25.216 terkonfirmasi positif covid-19.
Dalam upaya pencegahan virus corona atau covid-19 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk di rumah saja dan kemudian PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar) yang menyulitkan masyarakat untuk bersosialisasi, kantor-kantor diliburkan, sekolah diliburkan sehingga segala sesuatu pekerjaan dilakukan dari rumah sehingga dikenal dengan dirumah aja. Upaya pemerintah dengan kebijakan di rumah aja menjadikan polemik bagi masyarakat yang bekerja diluar rumah, Seperti nelayan, petani, tukang ojek dan penjual jajanan.
Bagi masyarakat desa yang mayoritas bekerja diluar rumah seperti petani, nelayan dan penjual jajanan akan sangat sulit mencari rezeki. Belum lagi beban ganda terhadap perempuan yang terjadi selama pandemi. Karena bila sekolah diliburkan dan kantor pun diliburkan pekerja rumah tangga pun akan semakin banyak, dimulai dari mengurus makanan, mengurus rumah dan menjaga agar ketersediaan pangan keluarga tetap terjaga.
Komisi Nasional Perempuan mencatat, selama pandemi corona, Komnas Perempuan menerima ratusan kasus aduan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak paling mendominasi. Tercatat 340 kasus dengan jumlah korban sebanyak 378 orang yang terdiri dari 104 anak laki-laki, dan 274 anak perempuan.
Hal ini yang membuat perempuan sangat terdampak dalam siklus pandemi covid-19. Perempuan mesti bekerja dari rumah dan mengurus anak, menjadi guru mengurus suami, memasak untuk keluarga, mencuci serta mengurus rumah belum lagi dihadapkan dengan polemik harga sembako yang semakin melambung tinggi.
Dalam beberapa kasus, perempuan hamil sangat rentan dalam kondisi pendemi seperti saat ini yang dimana ia mesti menjaga bayi dalam kandungan serta mesti memenuhi kebutuhan kesehatan janin dengan mengkonsumsi buah-buahan, sementara dalam kondisi lain ia mesti mengurus rumah dan anak-anak lainnya yang tinggal dan bekerja dan belajar dirumah. Kebijakan pemerintah yang mengharuskan masyarakat untuk di rumah saja bukan menjadi jalan keluar untuk melawan covid tapi menjadi polemik dan beban ganda kepada kaum perempuan.
Dalam kasus lain, perempuan yang membesarkan anak seorang diri, dengan berat hati untuk tidak bekerja diluar rumah. Sementara penghasilan atau usaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari didapatkan dengan menjual sayur di luar rumah. Gambaran hidup perempuan yang tinggal dan bekerja di desa sangatlah jauh berbeda dengan perempuan yang tinggal dan bekerja di kota. Perempuan kota atau kelas menengah mampu menggunakan alat komunikasi melalui media sosial, internet dll. Sementara bila kita melihat kehidupan perempuan kelas bawah yang tinggal di desa tidak dapat melakukan transaksi ataupun menjual melalui median online.
Perempuan petani misalnya. Perempuan petani, harus pergi ke kebun setiap hari dan ke pasar untuk menjual sayur ke pasar tanpa menggunakan media online. Sehingga kebijakan pemerintah dalam hal upaya pencegahan penyebaran virus covid-19 dengan merumahkan semua pekerjaan tidak efesien bila ditetapkan di desa. Sebab apabila para petani dan nelayan, perempuan buruh tani, tidak pergi meninggalkan rumah dan tidak bekerja diluar rumah akan sangat menyulitkan bagi penghidupan masyarakat rentan.
Hal ini yang dapat memicu tingginya angka kekerasan terhadap perempuan terjadi di desa, sebab bila dilihat secara ekonomi bahwa kekerasan terhadap perempuan itu terjadi akibat semakin merosotnya kemiskinan didalam rumah tangga.
*Penulis Ketua Sekolah Perempuan Sivia Patuju Kabupaten Tojo Una-Una