Ikhlas Kunci Sukses Mendidik Generasi (Catatan Kecil dari Tausiyah Ketua Utama Alkhairaat)
Oleh: Ahmadan B. Lamuri
Haul Guru Tua yang setiap tahunnya diperingati oleh abna’ Alkhairaat serta simpatisan di seluruh wilayah kerja Alkhairaat, selalu saja di isi dengan tausiyah yang didahului dengan pembacaan manaqib. Manaqib dan tausiyah selalu menginformasikan sisi kesuksesannya Guru Tua. Begitu juga halnya pada Haul Guru Tua yang ke-52 tahun ini. Salah satu point yang menarik dari sekian banyak isi tausiyah Ketua Utama adalah masalah “keikhlasan” dimana beliau menjelaskan kesuksesan Guru Tua karena keikhlasan dan ketulusan hatinya dalam mendidik manusia. Lantas bagaimana kandungan ikhlas tersebut?
Konsepsi Ikhlas
Kata ikhlas berarti “murni “setelah sebelumnya diliputi atau disentuh kekeruhan seperti dipahami oleh Quraish Shihab. Ikhlash adalah “upaya memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah swt semata, sedang sebelum keberhasilan usaha itu, hati masih diliputi atau dihinggapi oleh sesuatu selain-Nya. Hamka memahaminya dengan “bersih, tidak ada campuran. Ibarat emas yaitu emas tulen (24 karat). Beliau menyebutkan “ikhlas” itu perkerjaan yang bersih terhadap sesuatu. Ketika ikhlas telah bersarang dalam hati, maka isyrak tak kuasa masuk. Jadi mengerjakan sesuatu karena Allah memang benar-benar demikian apabila seluruh hal yang bersifat isyrak dikeluarkan dari hati manusia. Ikhlas selalu bersama sifat lainnya yaitu: shiddiq (benar), lurus, jujur, tulus. Hamka menyatakan bahwa ikhlas itu: iman jadi dasarnya, alam jadi buktinya, mendorong sesama manusia jadi syi’arnya, sabar jadi saudaranya.
Al-Qur’an menyebutkan sifat ikhlas itu kaitannya dengan usaha memurnikan ketaatan kepada Allah swt. Misalnya ayat 5 Surah al-Bayyinah demikian juga ayat 11 Surah al-Zumar. Seorang mukmin sejati selalu berbuat dengan apa yang Allah ridhai dan menjauhi apa yang dimurkai Allah swt. Mengapa demikian, karena Allah swt adalah “sumber segala kebaikan bagi manusia”. Ikhlas adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amal, dan itu merupakan pekerjaan hati. Jadi mukhlishin itu orang yang melaksanakan perintah Allah untuk mengerjakan ibadah dengan membersihkan diri lahir dan bathin dari syirik serta menjauhkan dirinya dari kekufuran. Ibnu Manzhur mengatakan kata ikhlas merupakan kata yang mengandung makna tauhid sebab itu termasuk sifat Allah swt. Kalau ikhlas dalam ketaatan berarti meninggalkan segala sifat riya.
Ikhlas Sebuah Karakter Sufi
Muhammad bin Sa’id al-Merwazi seperti dikutip Hamka mengatakan “segala kejadian itu hanyalah bersumber kepada dua, yakni “perbuatan Allah atas diri manusia dan perbuatan manusia yang akan dihadapkan kepada Allah”. Maka hendaklah rela menerima segala perbuatan-Nya, dan ikhlas mengerjakan segala perbuatanmu terhadap-Nya; demikianlah engkau akan peroleh kehidupan dunia akhirat. Rasulullah bersabda: qul amantu billah tsumma staqim=Bahwa engkau akui Tuhanku ialah Allah kemudian engkau teguh memegang pendirianmu itu. Inilah mungkin makna dari pernyataan Allah “wama umiru illa liya’budullaha mukhlishina lahuddin”. Tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah, hanya kepada-Nya semata-mata saja dihadapkan agama”.
Amin Syukur menjelaskan ikhlas dalam kajian sufistik dijumpai sebuah hadits Nabi yang mengungkapkan “suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Ku-cintai”. Ikhlas di samping sebagai bagian dari maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah swt; juga merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Jika amal perbuatan itu diibaratkan sebagai jasmani, maka ikhlas adalah roh atau jiwa atas amal tersebut. Ikhlas biasanya dikhususkan untuk memurnikan tujuan dalam beribadah kepada Allah swt; yaitu memurnikan dari segala macam campur tangan sesama makhluk. Sebab jika tujuan peribadatan itu sudah dicampuri oleh pengaruh lain, maka amalan-amalan yang semacamnya itu tentulah sudah keluar dari pengertian yang dikandung dari kata itu.
Jadi seseorang yang ikhlas dalam amalannya adalah seseorang yang berbuat sesuatu semata-mata bertaqarrub kepada Allah serta mengharapkan keridhaan-Nya. Keikhlasan itu tidak akan tercipta melainkan dari seorang yang betul-betul cinta kepada Allah swt; dan tidak menempatkan kehidupan dunia sedikitpun dalam hatinya. Apapun yang diamalkannya tertuju kepada keridhaan Allah swt; tertutup pintu masuk segala yang menjauhkan dirinya kepada Allah.
Sukses Amal tergantung Keikhlasan
Di beberapa Pondok Pesantren di Indonesia nilai-nilai keikhlasan justru dijadikan pilar utama dalam mengelola lembaga pendidikan. Misalnya Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor di Ponorogo; jiwa keikhlasannya digambarkan “Sepi ing pamrih” tidak didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu, tetapi semata-mata karena ibadah kepada Allah. Jiwa ini meliputi segenap kehidupan di pondok. Kyai ikhlas dalam mengajar dan mendidik, santri ikhlas dalam belajar, pegawai dan karyawan ikhlas membantu dalam pelayanan. Segala gerak gerik dalam pondok berjalan dengan suasana keikhlasan yang mendalam; dengan demikian terdapatlah suasana hidup yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat dan penuh cinta serta hormat. Implikasinya melahirkan generasi terdidik dan bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
Keikhlasan itu selalu berlandaskan pada niat. Olehnya Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi mengatakan bahwa “perlunya seorang muslim untuk memiliki keyakinan akan pentingnya niat. Niat akan membangun keseluruhan amalnya. Jangan mengerjakan suatu pekerjaan tanpa niat dan tujuan yang benar dan baik. Niat merupakan ruh dari amal dan merupakan tiang penyangganya, kebaikan dan keburukan amal tergantung pada niatnya. Setiap amal yang tidak dilandasi niat yang baik berarti perbuatan itu termasuk “riya”. Riya salah satu perbuatan yang dimurka Allah swt, dan bisa menghilangkan keikhlasan.
Guru Tua Mendidik dengan Ikhlas
Momentum haul Guru Tua, Ketua Utama menyampaikan sekilas kesuksesan Guru Tua dalam mendidik santri dan muridnya. Banyak santri atau muridnya menjadi manusia berilmu dan bermanfaat dalam masyarakat. Mereka dididik dan diajar oleh Guru Tua dengan sungguh-sungguh, sehingga para santri dan murid-muridnya itu berhasil. Padahal murid-murid tersebut yang sudah sulit dididik di lingkungan keluarganya, namun ketika bersama Guru Tua mereka sukses menjadi manusia luar biasa.
Apa kata kunci kesuksesan itu? Ketua Utama menjelaskan kalau sang Guru Tua mendidik dengan penuh keikhlasan dan nawaitu semata-mata mengharapkan ridha Allah swt. Beliau tidak mengharapkan harta, kedudukan dan jabatan atau bahkan pujian. Beramal dengan “ikhlas semata-mata karena Allah”. Cintanya terhadap Allah begitu sempurna dan itulah gambaran cerminan keimanan sang Maha Guru Utama. Niat ikhlas menjadi modal utama selama mengelola, membangun, mengajar, mendidik, dan bahkan mengembangkan madrasahnya.
Perlu digaris bawahi bahwa “Ikhlas” yang diamalkan oleh Guru Tua termasuk salah satu proses menuju tazkiyatun nafs (penyucian qalbu). Sifat yang demikian itu sesungguhnya mengantarkan pelakunya (Guru Tua) selalu menuju kepada penyucian diri. Sangat wajar apabila segala sesuatu yang muncul dari beliau membuahkan hasil gemilang disebabkan usaha dan amalannya diijabah serta direstui oleh Allah swt. Oleh sebab itu, pesan ayat 5 surah al-Bayyinah, telah sepenuhnya diimplementasikan Guru Tua dalam membangun madrasah dan mendidik santri dan murid-muridnya. Pengabdian apapun yang dikerjakan manusia hendaknya dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Guru Tua telah memberi contoh terbaik oleh kita semua. Wallahul A’lam !
Penulis adalah Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan Universitas Alkhairaat dan Ketua BAZNAS Kota Palu