Renungan Dibalik Banjir Bandang
Oleh : Ahmadan B. Lamuri
Tulisan ini pernah terbit di Palu Ekspres beberapa tahun lalu, namun dengan berbagai peristiwa yang saat ini melanda daerah di Indonesia, maka dipublish kembali sebagai renungan. Banjir yang telah memporak-porandakan dan menenggelamkan perkampungan; sungguh sangat menyedihkan serta membawa duka yang sangat mendalam. Peristiwa tersebut telah menelan korban harta dan jiwa. Namun, patutlah untuk direnungkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi dimungkinkan karena ada penyebabnya. Al-Qur’an membahasakan “kullu sya’in sababa, fa atbi’i al-sababa”, setiap sesuatu yang terjadi ada sebabnya maka ikutilah sebab itu.
Bencana yang menimpa manusia di bumi ini pada dasarnya disebabkan oleh manusia itu sendiri. Ada beberapa kemungkinan: Pertama disebabkan ulah perbuatan manusia (QS. Al-Rum: 41). Kedua, disebabkan oleh kedurhakaan nya akan ajaran agama (QS. Al-Ma’arij: 1-2 dan QS. Nuh: 25); Ketiga, merupakan azab baginya dan telah menjadi sunnatullah yang diberikan kepada manusia yang selalu ingkar kepada-Nya.
Bencana yang melanda masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia, bukanlah peristiwa baru; tetapi hanyalah pengulangan peristiwa sebagaimana pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Bahkan banyak peristiwa masa lalu yang lebih dahsyat dari apa yang terjadi saat ini. Misalnya, di zaman Nabi Luth, telah terjadi bencana alam luar biasa dimana Negeri tempat tinggal Nabi Luth “dibalik” oleh Allah swt (QS. Hud: 82-83) yang diikuti oleh “topan besar” yang membawa batu-batu besar sehingga menghancurkan negeri itu (QS. Al-Qamar: 33-34).
Kisah lain, pernah terjadi pada kaum Saba’ di masa Nabi Sulaiman as. Negeri Saba’ dikenal Negeri yang subur, sehingga masyarakatnya hidup dalam kesenangan dan kemakmuran. Tetapi negeri ini akhirnya menjadi negeri yang miskin dan tidak subur lagi; disebabkan Allah swt menurunkan malapeta dahsyat dengan menjadikan bendungan Ma’arib yang menopang kesuburan negeri mereka itu “dibobolkan” akhirnya terjadi “banjir bandang” yang menghanyutkan semua yang menghalangi arusnya.
Masih banyak lagi peristiwa mengerikan yang pernah terjadi pada umat-umat sebelum kita yang diceritakan dalam al-Qur’an, namun mari kita simak pesan dan sebab terjadinya musibah di atas:
Pertama, bencana banjir bandang dapat saja terjadi akibat perilaku manusia yang telah menyimpang dari aturan agama. Manusia beragama tetapi perbuatan tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Contohnya: bumi ini telah dihamparkan oleh Allah dengan berbagai macam sumber daya alamnya, termasuk penghijauan di dalamnya; sehingga Allah memerintahkan kepada manusia untuk memelihara hamparan yang hijau itu. Tetapi karena ulah manusia dengan melakukan penebangan untuk kepentingan perusahaan dan tidak memperhatikan reboisasinya (penghijauannya kembali), maka hutan pun menjadi gundul; sebab inilah biasanya yang jika hujan terus menerus mengguyur dapat dipastikan akan terjadi banjir besar.
Kedua, musibah itu datang sebagai jawaban atas keingkaran manusia terhadap nikmat yang diberikan Allah kepadanya, dan nikmat itu dipandang sebagai hasil usahanya sendiri tanpa adanya kekuasaan Allah swt. Nikmat yang diberikan Allah kepada manusia tidaklah mampu dihitung oleh manusia (jika sekiranya manusia menghitung nikmat yang Allah berikan pasti tidak akan bisa dihitung). Nikmat dalam diri manusia saja sudah tidak dapat dihitung, maka tepatlah jika Allah selalu bertanya kepada manusia dan jin “nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari. Dalam hal kepemilikan harta saja kadang manusia lupa hak Allah dan manusia yang membutuhkan. Kita dapat saksikan berapa banyak orang yang memiliki harta di negeri ini; tetapi berapa banyak hasil pengumpulan zakat mal dan infak, sangat menyedihkan. Sifat manusia cinta terhadap harta bendanya kadang berlebihan (wa tuhibbun al-mal hubban jamma). Sifat inilah yang sering membawa manusia lupa akan bersyukur kepada Allah swt atas segala nikmat itu.
Ketiga, bencana yang silih berganti ditimpahkan kepada manusia akibat kesombongan, kezaliman yang dilakukannya tanpa memperhatikan rambu-rambu ajaran agama. Di Indonesia saat ini, dirasakan mulai sulit mendapatkan kebenaran, kejujuran, kesederhanaan, dalam setiap perilaku manusia; baik individu, maupun dalam kelompok. Rasanya siapa yang kuasa, dialah yang menjadi penguasa atau laksana hidup manusia ini telah diperhadapkan dengan binatang-binatang buas yang selalu mencari mangsa. Sikap toleransi, tolong-menolong, falsafah “berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing” hanyalah slogan biasa” semuanya mulai sirna dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Penyelesaian kasus dan masalah dalam negeri nampak laksana lingkaran syaithan yang sulit untuk diterima dengan lapang dan ikhlas.
Keempat, menjadikan kemajuan sains, teknologi, pengetahuan, kekayaan, kekuasaan, kebesaran, sebagai berhala yang diper-Tuhan-kan, lupa menjadikan semua itu untuk sebuah pengabdian kepada yang Maha Pencipta. Manusia lupa bahwa “kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya atau apa yang ada di dalamnya.” Penumpukan harta, perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, penindasan warga dan masyarakat miskin, penyelewengan kekuasaan, dan sebagainya menjadi fenomena dalam kehidupan ini. Padahal semua itu bukanlah tujuan hidup manusia. Jadikanlah gaya hidup sebagai bagian dari “pengabdian kepada sang Pencipta.” Renungkanlah peringatan Allah “tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.”
Oleh karena itu, bencana alam (banjir) yang melanda manusia, harus melahirkan sikap sadar dan taqwa kepada Allah swt, sehingga dengan musibah itu dipandang sebagai cobaan untuk mengukur: kesyukuran, keingkaran, dan ketaqwaannya kepada Allah swt. Wallahul ‘alam !
* Penulis adalah Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan Universitas Alkhairaat