ISRA’ MI’RAJ DAN SAINS

ISRA’ MI’RAJ DAN SAINS

Oleh:  Dr. Ahmadan B. Lamuri, S.Ag.,M.H.I*

Tepatnya tanggal 27 Rajab, umat Islam memperingati Isra’ Miraj. Diperingati karena peristiwa ini sesuatu yang luar biasa dan sekaligus menitipkan banyak pesan religi, humanis, social, kesederhanaan, kerja keras, termasuk tantangan sains. Tulisan ini hanya memadukan pandangan ulama dan pakar Astronomi terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj.

Diketahui bersama berdasarkan latar belakang kejadiannya, bahwa Isra’ Mi’raj di awali dengan serangkaian tantangan yang diderita oleh Nabi Muhammad saw di saat sedang melaksanakan misi dakwahnya. Sebagai balasan atas segala kesedihannya Allah swt mengisra’ mi’rajkan hamba-Nya.

Ketika Peristiwa Terjadi

Ada perdebatan tentang apakah hanya dalam mimpi, roh, atau roh dan jasad. Akan tetapi analisis yang disampaikan Mutawalli Sya’rawi bahwa dari berbagai riwayat tentang peristiwa Isra’ Mi’raj memang di awali dari mimpi yang disebut sebagai “ru’yal Inaas” yakni sesuatu yang diperlihatkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam keadaan tidur maupun terjaga yang tujuannya ketika mimpi itu terwujud dalam kenyataan; sang Nabi tidak kaget dan gelisah lagi. Mimpi itupun terwujud. Isra’ Mi’raj terjadi roh dengan jasadnya, sebagaimana juga dijelaskan oleh pakar tafsir al-Thabari. Ada yang berpendapat hanya roh semata dengan mendasarkan pada firman Allah swt dalam surah al-Isra’ ayat 60. Mutawalli Sya’rawi menegaskan bahwa jika sekiranya Isra’ merupakan suatu mimpi atau perjalanan roh tanpa jasad tentu peristiwa tersebut tidak akan menimbulkan fitnah dan perdebatan.

Mutawalli Sya’rawi kemudian mengajak kepada umat untuk memahami penggunaan kata “abdihi” pada ayat 1 surah al-Isra’ itu dengan dua hakikat penting, yakni:

Pertama, peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi dengan rohani dan jasmani bukan sekedar mimpi dalam tidur. Peristiwa ini di alami oleh Rasulullah dalam keadaan sadar dan terjaga dan dapat diinderanya. Kata ‘abdun dalam istilah bahasa hanya digunakan pada rohani dan jasmani secara bersamaan. Peristiwa ini juga sebagai pengukuhan Allah swt atas segala kekuasaanNya terhadap makhluk yang didahului dengan menyebut “kemahasucianNya”.

Kedua, penggunaan kata ‘abdihi” pada peristiwa Isra’ Mi’raj sebenarnya Allah swt ingin menyatakan kepada manusia bahwa pengabdian kepadaNya merupakan kelas tertinggi yang bisa dicapai seorang manusia. Pengabdian kepada Allah merupakan suatu kemuliaan yang tiada tara dan suatu karunia yang tak terhitung nilainya. pengabdian kepada Allah swt bisa mengangkat ketinggian derajat, martabat seseorang di sisi-Nya, tapi sebaliknya pengabdian manusia terhadap manusia justru akan membawa kehinaan dan kenistaan. Pengabdian kepada Allah akan memberikan segala-galanya melalui rahmat, karunia dan kemulian-Nya. Isra’ Mi’raj mengingatkan arti penting sebuah pengabdian sempurna dan terbaik hanya kepada Allah swt. Rasulullah telah menunjukkan bukti pengabdiannya. Padahal beliau telah dibebaskan segala dosanya, tetapi masih memaksimalkan pengabdiannya melalui kegiatan ibadah dan lainnya dengan maksud menjadi “‘abdan syakur”.

Di kalangan teolog Mu’tazilah seperti digambarkan Annemarie mereka menganggap seluruh peristiwa itu sebagai suatu penglihatan batin dan hanya mengakui kemungkinan perjalanan itu bersifat spiritual. Tetapi pandangan ini dibantah oleh kaum Sufi dengan mengatakan kalau Nabi Muhammad itu memiliki kesucian tubuh yang dengannya dapat mencapai suatu kedekatan yang paling terdekat di sisi Allah swt. Sementara manusia yang beriman hanya bisa dekat dengan Allah swt secara spiritual.

Isra’ Mi’raj di Era Sains

Thomas Djamaluddin, seorang Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang saat ini menjadi Kepala di lembaga tersebut, menuliskan, Isra’ Mi’raj bukanlah perjalanan antariksa atau perjalanan menggunakan pesawat terbang antar negara dari Mekah ke Palestina. Isra’ Mi’raj dalam pendekatan saintifik merupakan perjalanan keluar dari dimensi ruang dan waktu. Perjalanan itu, ilmu pengetahuan tidak bisa menjelaskan akan tetapi perjalanan itu bukan dalam keadaan mimpi.

“Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya dengan iman semata. Alam dibatasi dimensi ruang waktu, dan pengukurannya umumnya adalah soal jarak dan waktu. Sedangkan keluar dari dimensi ruang dan waktu, jika dianalogikan berarti pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Dimensi yang lebih besar atau tinggi ini akan mengungguli dimensi yang lebih rendah. Keluar dari dimensi ruang waktu berarti melepaskan diri dari hukum ruang waktu. Thomas menjelaskan dengan ilustrasi, dimensi 1 merupakan garis, dimensi 2 adalah bidang dan dimensi 3 adalah ruang. Maka alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Alam tiga dimensi (ruang) juga dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang), dan seterusnya. Tapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi.

Oleh sebab itu entitas yang berada di alam berdimensi lebih tinggi, dengan mudah memindahkan sang makhluk, dengan cara mengangkat, dari ujung satu ke ujung lainnya keluar dari dimensi bidang. Jadi pemindahan makhluk itu tak perlu berkeliling menyusuri lengkungan atau bulatan ruang yang ada.

Thomas menuturkan, dengan memakai penjelasan tersebut, alam malaikat bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu. Sehingga malaikat tak ada masalah dan kendala dengan jarak dan waktu. Malaikat bisa melihat manusia sementara manusia tidak bisa sebaliknya. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Dengan keluar dari dimensi ruang dan waktu, berarti perjalanan Rasulullah tersebut tanpa terikat jarak dan waktu yang dengannya mudah dan cepat perpindahannya.

Sementara terkait dengan menaiki tujuh lapis langit, membuka pemahaman bahwa langit berlapis-lapis. Langit berarti segala yang ada di atas kita. Dengan demikian, angkasa luar yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas bertebaran di atas kita merupakan langit. Thomas yang merupakan anggota Tim Tafsir Kauni Kementerian Agama-LIPI, menjelaskan bilangan tujuh dalam beberapa hal di al-Quran tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal, namun lebih mengacu pada jumlah yang tak terhitung.

Tujuh langit makanya, dalam konteks ini, lebih tepat bila dipahami sebagai tatanan benda langit yang tak terhitung jumlahnya. Bukan dimaknai sebagai lapisan langit. Pengertian langit dalam kisah Isra Miraj bukanlah pengertian langit secara fisik. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah Isra Miraj adalah alam gaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia, dan itulah mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW”.

Semoga dengan Isra’ Mi’raj kita bangun umat, masyarakat, dan bangsa ini dengan tidak melupakan eksistensi Ketuhanan dalam segala langkah dan kebijakan pembangunan. Sebab jika Allah swt menghendaki segala sesuatu terjadi tidaklah sulit bagiNya dengan Kemahasucian dan KemahagunganNya seketika pun suatu peristiwa dapat terjadi. Isra’ Mi’raj menjadi dalil yang tidak terbantahkan lagi. M. Quraish menegaskan peristiwa tersebut adalah “atas kehendak Allah swt dan sebuah kekeliruan apabila mengukurnya dengan kemampuan makhluk”.

Wallahul A’lam!

*Penulis adalah Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan Universitas Alkhairaat Palu dan Ketua Baznas kota Palu

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published.