RELIGIUS, HUMANIS, SOSIALIS (Nilai Etis Pancasila dalam Pembangunan Bangsa)

RELIGIUS, HUMANIS, SOSIALIS  (Nilai Etis Pancasila dalam Pembangunan Bangsa)

Oleh: Ahmadan B. Lamuri*

PERINGATAN hari lahirnya Pancasila telah berlalu, namun nilai dan pengamalannya tidak kenal batas waktu. Pancasila menjadi asas dan falsafah hidup bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelahirannya telah menjadi perekat hidup dalam keragaman. Tafsiran terhadap hakikat, nilai, dan maknanya telah banyak berserakan dalam ragam buku dan bacaan. Tulisan ini mengungkap tiga sisi pesan etis Pancasila untuk kita semuanya, yakni: religius, humanis, dan sosialis.

Religius diambil dari penjabaran sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia dan setiap warganya merupakan manusia yang mengakui eksistensi Tuhan. Tuhan yang seperti apa dan bagaimana adalah hak setiap warga Negara. Bukti pengakuan Ketuhanan itu terjelma dalam penyembahan dan ketundukannya dalam melaksanakan ibadah. Bentuk, model penyembahan dan ketundukan itu terejawantahkan dalam agama yang dianut oleh setiap warga Negara dan berkembang di Indonesia. Karena itu, maka bangsa Indonesia adalah sebuah Negara yang bertuhan.

Ketuhanan ditempatkan sila pertama menekankan etis religius sebagai sesuatu yang fundamental bagi bangsa Indonesia. Pengelolaan Negara selalu mendasarkan pada moral Ketuhanan. Implementasi kesadaran terhadap eksistensi Ketuhanan dalam pendirian bangsa ini telah tercermin dalam uraian mukaddimah UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, maka kemerdekaan Negara ini tercapai. Artinya pejuang dan pendiri bangsa ini sejak awal telah mengakui bahwa keberhasilan mengusir penjajah dan akhirnya merebut kemerdekaan bukan semata-mata usaha dan jerih payah rakyat Indonesia melainkan ada kekuasaan transcendental yang juga mengiringinya yakni kekuasaan Tuhan.

Sila ketuhanan ini juga memberikan pelajaran dan peringatan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Negara Indonesia telah menempatkan nilai Ketuhanan yang berdimensi transcendental itu melalui kehadiran agama. Nilai ajaran Ketuhanan yang ada dalam ajaran setiap agama harus menjadi asas bagi seluruh pergerakan pembangunan bangsa.

Atas Dasar ini setiap warga Negara Indonesia patut menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanannya serta totalitas nilai ajaran agamanya. Keragaman agama menjadikan bangsa ini menjadi kokoh sebab ditunjang perilaku religius. Kewajiban selanjutnya antar sesama pemeluk agama adalah saling menghormati hak dan kewajiban pemeluk agama masing-masing untuk melaksanakan rutinitas ajaran agamanya. Tidak boleh ada saling menghinakan dan menistakan ajaran agama lain yang berbeda dengannya. Setiap warga Negara wajib mengakui keragaman agama. Keragaman tidak ada begitu saja, akan tetapi itu termasuk salah satunya yang diciptakan Tuhan.

Sila Ketuhanan yang terjabarkan dalam peraturan Dasar Negara, telah menunjukkan ketegasan system karakteristik kebangsaan Indonesia yakni sebuah Negara religius (Religius Nation State). Oleh sebab itu, di Negara ini tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan dan anti keagamaan. Negara telah menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga Negara beribadat dan menjalankan agamanya sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Ketika isu berkembangnya paham-paham yang menafikan eksistensi Ketuhanan dan keagamaan dalam pergaulan berbangsa dan bernegara, maka setiap warga Negara memiliki kewajiban yang sama untuk menangkal dan menghalanginya sebab itu bertentangan dengan konsepsi kenegaraan Indonesia.

Selanjutnya, empat sila lainnya memiliki banyak makna akan tetapi dua hal yang dapat dijelaskan kembali: pesan humanis tentang kemanusiaan dan sosialis tentang kedermawanan. Bangsa yang besar ini terlahir dari nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Keuniversalan dimaksud terbentuk dari adanya keanekaragaman agama, suku, bahasa, adat, dan sebagainya. Konsep kemanusiaan yang dijadikan asas pembangunan bangsa ini dilatarbelakangi oleh pemikiran “hanya manusialah yang mampu membangun peradaban”. Kemampuan pembangunan peradaban itu disebabkan oleh potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Namun, peradaban sebagai hasil cipta dan karya manusia tetap bersandarkan pada nilai Ketuhanan. Sebab manusia Indonesia menyadari kalau ia merupakan makhluk Tuhan.

Sebagai manusia, selalu memiliki karakter hidup yang tidak berpisah dengan manusia lainnya. Penjabaran karakter ini tercermin dengan usaha dan keinginan untuk hidup dalam persaudaraan dan persatuan. Persatuan yang dibangun manusia Indonesia mencakup: persatuan dalam idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan. Kemanusiaan itu telah melahirkan ragam nilai persatuan yang menjadi bagian dari karakternya.

Humanis dan Sosialis dipahami sebagai suatu sistem relasi antar manusia. Konsepsi empat sila dalam Pancasila menempatkan kedudukan manusia sangat strategis. Nilai tertinggi setelah Nilai Ketuhanan dari semua tatanan kehidupan sosial, ekonomi, hukum, politik, pertahanan, budaya, bahkan sains adalah manusia itu sendiri. Peradaban, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial; adalah kebutuhan hidup manusia dan juga ditentukan oleh manusia pula. Pesan utamanya adalah semua kondisi tatanan kehidupan haruslah tetap kondusif mengatasi keterasingan, kebodohan, kelemahan, kelumpuhan. Sebab bila manusia mengalami kondisi yang tidak kondusif, maka keterpurukan dan keterbelakangan pun akan terjadi.

Humanis-Sosialis telah berakar pada keyakinan akan kesatuan dan solidaritas antar sesama umat manusia yang mendiami kepulauan nusantara sebelum kemerdekaan. Karena adanya cita-cita luhur yang hidup bersama dalam satu wadah kenegaraan; maka perjuangan merebut kemerdekaan menjadi bukti nyata atas implementasi nilai-nilai solidaritas kemanusiaan itu. Inilah cita-cita dan nilai moral yang dahulu menjadi dasar lahirnya Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda. Oleh sebab itu, humanis sosialis sebagai pesan sila-sila dalam Pancasila tidak lain untuk membangun sebuah kehidupan bernegara yang relasi antar manusianya berjalan berdasarkan kerjasama bebas dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan baik bersama dalam sebuah negera merdeka dan berdaulat.

Dengan pesan ini; seakan-akan Pancasila mengingatkan bahwa tidak boleh ada karakter yang terbangun dalam Negara ini dimana sebagian rakyat ada yang merasa takut dan termarginalkan, dan sebagian lainnya merasa menguasai dan mengeksploitasi secara sewenang-wenang atas nama kekuasaan. Seluruh rakyat berhak yang sama untuk mengakses apa saja yang dibutuhkan demi kelangsungan hidupnya. Tetapi semua rakyat dan umat manusia yang mendiami republic ini wajib berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab dalam segala keputusan yang berkaitan dengan kepentingan seluruh warga negara dan demi mewujudkan tata kehidupan bernegara yang adil makmur secara lahir maupun batin.

Islam sejak awal telah menginformasikan bahwa masalah kehidupan setiap orang tentu berbeda-beda (Q.S. al-Nahl: 71). Ada yang kelebihan dan ada juga yang kekurangan. Namun, hadirnya Pancasila sesungguhnya telah menaruh perhatian besar upaya serta usaha mengantisipasi tidak terjadinya kesenjangan sosial melalui penekanan kehidupan bernegara ini harus benar-benar dikelola dengan prinsip “keadilan sosial”. Keadilan sosial akan tercipta jika semua rakyat dan umat merasa memiliki hubungan sosial (mu’amalah). Begitu pentingnya hubungan sosial, sehingga Islam mengajarkan konsep ukhuwah.

Oleh karena itu, Pancasila hendaknya menjadi spirit utama merubah pola karakter hidup yang selama ini dianggap menjadi sebab kerusakan moral, pikiran, amaliyah, yang merugikan Negara dan rakyat secara bersamaan kepada system pengelolaan rakyat dan Negara yang berasaskan dan beretiskan Pancasila. Menghadirkan Tuhan dan berkarakter humanis-sosialis akan menjadi madu (penguat) bagi  kebangkitan dan kemajuan bersama. Wallahul A’lam !

*Penulis adalah Dosen Tetap Universitas Alkhairaat Palu/ Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan

 

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published.