SIGNIFIKANSI KONSEP FILANTROPI ISLAM DALAM MEMBANGUN KESHALEHAN SOSIAL UMAT

SIGNIFIKANSI KONSEP FILANTROPI ISLAM DALAM MEMBANGUN KESHALEHAN SOSIAL UMAT

Oleh: Dr Ahmadan B. Lamuri,S.Ag.,M.H.I*

SALAH satu doa yang tidak pernah terlupakan ketika seseorang berdoa adalah “ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة وقنا عذاب النار (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta hindarkan kami dari siksa neraka). K.H. Ali Yafie menjelaskan bahwa doa ini merupakan doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah. Seringnya di bacakan menunjukkan kalau manusia itu sangat butuh kehidupan yang baik dan terhindar dari segala bentuk kesengsaraan. Mencapai kehidupan hasanah menuntut kerja keras dan sungguh-sungguh. Karena itulah, Islam sangat mendorong agar setiap orang berusaha semaksimal mungkin dengan sumber daya yang dimilikinya dalam rangka mencapai kehidupan hasanah. Usaha dan bekerja merupakan senjata pertama dalam memerangi kemiskinan. Hasanah itu: yang baik bermutu dan berkualitas. Islam mengajarkan manusia untuk hidup berkualitas: barang yang dimilik harus berkualitas, pekerjaan juga harus berkualitas, kondisi fisik dan rohani harus berkualitas, lingkungan dimana hidupnya harus berkualitas, dan nasibnya sekalipun harus berkualitas. Kehidupan yang berkualitas itu tidak akan diperoleh jika tidak dijalankan sesuai petunjuk Allah swt dan diamalkan.

Islam telah mendorong dan mengajarkan bahwa kehidupan yang baik itu harus dilakukan dengan usaha sungguh-sungguh, serius dan tekun. Akan tetapi, tidak semua manusia yang telah berusaha dan merealisasikannya mengakibatkan ketercapaian kehidupan hasanah itu. Bahkan justru terjadi sebaliknya keburukan hidup yang sebenarnya bukan keinginan; tapi itu kenyataan, maka melahirkan ketidakberdayaannya. Kondisi seperti ini bisa menjadi salah satu sebab timbulnya kesenjangan sosial. Di Indonesia kesenjangan itu tergambar dari hasil riset Oxfarm International sebagaimana dikutip M. Syahrul Syarifuddin yang menempatkan Indonesia berada di urutan keenam terburuk di dunia. 4 orang terkaya memiliki kekayaan lebih dari gabungan 100 juta orang termiskin di Indonesia.

Kesenjangan sosial seharusnya tidak boleh terjadi; sebab prinsip hidup manusia adalah hidup dalam kebersamaan. Al-Qur’an menyebut manusia dengan an-Naas (yang menunjukkan sifat dan karakternya yang hidup selalu bersama orang lain). Tetapi keadaan itu menjadi nyata, maka diperlukan solusi. Solusi menurunkan angka kesenjangan sosial masyarakat adalah dengan mengaktifkan dan mengembangkan filantropi. Bentuk filantropi Islam itu zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, dan derma-derma lainnya. Sedekah menjadi salah satu sumber pendapatan negara atau menjadi instrument penerimaan keuangan negara di zaman Rasulullah dan para sahabatnya.

Jika di zaman Rasulullah dan para sahabat filantropi telah dikelola dan menjadi sumber penerimaan keuangan negara, mengapa di bangsa yang jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia filantropi tidak dimasukan ke dalam pembahasan RAPBN? Proyeksi penerimaan zakat, infak, dan sedekah yang dilakukan oleh BAZNAS bisa mencapai 300-400 triliyunan. Bila ditambah dengan proyeksi penerimaan wakaf yang bisa mencapai 150-250 triliyun pertahun; menandakan masih adanya minus pemahaman terhadap eksistensi ajaran filantropi.

Di sisi lain, potensi filantropi dapat diselewengkan oleh orang-orang yang tidak memiliki kepekaan sosial. Penemuan kotak amal yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan oleh kepolisian beberapa waktu lalu menggambarkan bagaimana besarnya potensi itu.  Walaupun demikian manfaat filantropi digunakan pada kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Ratusan kota amal itu omsetnya puluhan miliyar pertahun untuk 1 daerah dan wilayah. Bahkan catatan kepolisian bahwa jumlah kotak amal yang dimiliki oleh kelompok ekstrimisme yang tersebar di minimarket mencapai puluhan ribu dengan penerimaan per kotak pertahun mencapai 50 jutaan rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa potensi penerimaa hasil derma yang dari satu sumber dan tempat saja telah mencapai triliyunan rupiah.

Oleh sebab itu, filantropi telah membutkikan adanya peran dan urgensinya terhadap pengembangan umat dan masyarakat. Bahkan pemanfaatan itu juga mengalir pada kegiatan yang justru bertentangan dengan sasaran utama filantropi. Bagaimana signifikansinya filantropi Islam dalam membangun keshalehan sosial umat?

Memahami Arti Filantropi

Filantropi dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan dengan cinta kasih atau kedermawanan kepada sesa. Andi Agung Prihatna menjelaskan bahwa istilah filantropi berasal dari Bahasa Yunani yakni: philos yang berarti cinta dan Anthropos yang berarti manusia. Secara harfiah filantropi adalah “konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara suka rela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta”. Filantropi kalau padanan Arabnya disebut dengan al-atha’ al-ijtimaa’i (pemberian sosial), al-takaaful al-insani (solidaritas kemanusiaan), atha’ al-khayri (pemberian untuk kebaikan), al-birr (perbuatan baik), dan juga shadaqah (sedekah).

Filantropi secara terminology dimaksudkan dengan tindakan seseorang yang ditujukan kepada orang lain dilandasi perasaan cinta kepada sesama manusia serta nilai kemanusiaan dengan maksud untuk menolongnya, baik dalam bentuk material maupun non material. Filantropi mengandung makna: sebagai upaya meningkatkan taraf hidup umat manusia; sebagai ungkapan rasa cinta umat manusia secara universal; dan sebagai aktivitas yang diarahkan untuk mempromosikan kesejehteraan manusia.

Filantropi adalah bentuk altruisme yang terdiri dari inisiatif pribadi untuk kebaikan public dengan focus pada kualitas hidup. Makna ini berbeda dengan inisiatif bisnis yang merupakan inisiatif pribadi untuk kebaikan pribadi yang berfokus pada materi keuntungan. Ide filantropi ini muncul seiring dengan berkembangnya diskusi tentang “civil society” yang menuntut adanya kemandirian masyarakat. Membatasi peran pemerintah yang cenderung otoriter dan meningkatkan keberdayaan masyarakat.

Didin Hafidhuddin menjelaskan bahwa filantropi itu kesadaran untuk memberi dalam rangka mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat secara luas dalam berbagai bidang kehidupannya yang dalam pandangan Islam perbuatan ini sangat mulia dan bagian utama dari ketakwaan seorang muslim.

Filantropi merupakan sebuah sikap antipati terhadap kondisi orang lain baik, sifatnya individu maupun kolektif untuk memberikan bantuan secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan atau balasan yang dilandasi kecintaannya terhadap sesama untuk menghilangkan kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan kondisi sosial lainnya yang dapat mengakibatkan hubungan kemanusiaan terganggu.

Jika membagi atau mengelompokkan Filantropi dalam Islam maka dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, dari aspek berkembangnya: ada filantropi agama yang dipahami sebagai yang terintegrasi dalam ajaran agama secara langsung; filantropi sosial yang dipahami sebagai sikap yang dipraktekkan setiap individu dalam kehidupan Bersama. Kedua dari aspek tata kelola maka filantropi itu ada citizen filantropi (filantropi warga) dan organized filantropi (filantropi terorganisir)[15]. Filantropi Islam yang mencakup zakat, infak, sedekah, dan wakaf atau biasa disingkat dengan ziswaf telah dikelola secara organisasi melalui kehadiran BAZNAS, BWI, LAZIS, dan sebagainya.

Landasan Filantropi

Merujuk pada pengertian tersebut diatas, landasan pengamalan, pelaksanaan, serta pengembangan filantropi adalah bersentuhan dengan tanggungjawab sosial, ekonomi, dan akhlak. Betapa banyaknya ayat al-Qur’an yang menunjukkan perlunya memberi perhatian pentingnya tanggung jawab sosial. Muhammad Sa’i menjelaskan bahwa ajaran filantropi dalam al-Qur’an di antaranya terdapat pada surah al-Hadid (57) ayat: 10-11:

وَمَا لَكُمۡ أَلَّا تُنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَٰثُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ لَا يَسۡتَوِي مِنكُم مَّنۡ أَنفَقَ مِن قَبۡلِ ٱلۡفَتۡحِ وَقَٰتَلَۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡظَمُ دَرَجَةٗ مِّنَ ٱلَّذِينَ أَنفَقُواْ مِنۢ بَعۡدُ وَقَٰتَلُواْۚ وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ مَّن ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجۡرٞ كَرِيمٞ

Terjemahnya:

Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.

Intisari ayat ini menganjurkan infak dan mengecam mereka yang kikir yang dimaknai dari pernyataan Allah swt “mengapa kamu…” apa yang terjadi pada diri kamu serta apa yang dalih yang dapat kamu ajukan sehingga kamu “tidak menginfakkan Sebagian harta kamu pada jalan Allah padahal milik Allah semata-mata warisan langit dan bumi serta isinya.

Q.S. al-Baqarah (2) ayat: 177:

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Pakar tafsir memahami bahwa bukanlah menghadapkan wajah dalam shalat kearah timur dan barat tanpa makna, melainkan kebajikan yang seharusnya mendapat perhatian semua pihak adalah yang mengantarkan kepada kebahagiaan dunia akhirat yakni keimanan kepada Allah dan yang lainnya sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Bahkan tafsiran lebih lanjut bahwa ayat ini bukan semata-mata ditujukan kepada umat Islam, tetapi kepada semua pemeluk agama, sebab banyak diantara yang mengandalkan shalatnya padahal ini sesuatu yang keliru.

Q.S. Ali Imran (3) ayat: 133-135:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Q.S. al-Zaariyat (51) ayat: 19:

وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

Q.S. al-Muddatsir (74) ayat: 38-44:

مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ. قَالُواْ لَمۡ نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ.  وَلَمۡ نَكُ نُطۡعِمُ ٱلۡمِسۡكِينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,

Q.S. al-Layl (92) ayat: 8-11:

وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ وَمَا يُغۡنِي عَنۡهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰٓ

Terjemahnya:

Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.

Berdasarkan atas penjelasan ayat-ayat tersebut di atas, maka landasan filantropi dalam al-Qur’an dapat dipahami dari: informasi ayat tentang kecenderungan manusia terhadap harta dan keinginannya untuk terus menguasai dan melupakan akan kedudukan harta tersebut. Dalam bentuk ajakan untuk menafkahkan sebagian dari apa yang telah diperolehnya dari hasil usahanya; Allah swt telah menguatkan bahwa berinfak dijalan Allah maka pahalanya dilipatgandakan dan akan kembali kepadanya; memerintahkan kiranya harta yang telah dimiliki harus dikeluarkan sebab di dalam harta itu ada hak-hak orang yang membutuhkan; mengancam akan menemukan jalan yang sukar serta hartanya tidak bermanfaat setelah kematian menjemputnya. Semuanya itu merupakan pelajaran yang harus dilakukan oleh manusia dengan sasaran dan tujuan utamanya adalah membangun kehidupan yang seimbang dan harmoni dengan tidak ada rasa saling menyakiti dan menyusahkan.

Dalam hadits masalah filantropi telah banyak disinggung oleh Nabi Muhammad saw. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi (h. 1956) Rasulullah saw bersabda:

تبسمك فى وجه أخيك لك صدقة, وأمرك بالمعروف ونهيك عن المنكر صدقة و إرشادك الرجل فى أرض الضلال لك صدقة, وبصرك للرجل الردىئ البصر لك صدقة, وإماطتك الحجر والشوك العظم عن الطريق لك صدقة, وإفراغك من دلوك فى دلو أخيك لك صدقة.

Artinya:

“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah, engkau menyuruh berbuat baik dan melarang dari kemungkaran juga sedekah, engkau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat juga sedekah, engkau menuntun orang yang berpenglihatan kabur juga sedekah, menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan adalah sedekah, dan engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu juga sedekah.

Riwayat lainnya juga diceritakan bahwa Rasulullah bersabda:

يا رسول الله إنه ليس لى من شيء إلا ما أدخل علي الزبير أفأعطى؟ قال: نعم, لا توكى فيوكى عليك, يقول: لا تحصى فيحصى عليك.

Artinya:

Wahai Rasulullah,sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu, kecuali apa yang diberikan oleh Zubair kepadaku. Apakah aku harus bersedekah dengannya? Beliau menjawab, Ya janganlah engkau bakhil, jika engkau bakhil maka Allah akan menghentikan karunia-Nya kepadamu, sesungguhnya Allah akan menghitung hitung (pemberian) sehingga Allah akan menghitung pemberianNya kepadamu.

Ibrahim al-Labban sebagaimana dikutip pandangannya oleh Yusuf al-Qardhawi tentang perlunya memperhatikan hak-hak orang miskin beliau mengatakan: “konsep pemikiran tentang ihsan (berbuat baik atas dasar kesadaran dan suka rela) merupakan sarana utama yang dimanfaatkan oleh agama-agama samawi untuk mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Tujuan Filantropi

Merujuk pada pengertian filantropi dapat dipahami bahwa aktivitas berderma itu sebagai bagian dari edukasi system keadilan sosial dan membangun kesejahteraan yang paripurna. Islam mengajarkan umatnya untuk memperhatikan nasib fakir miskin dan kaum dhu’afa yang terpinggirkan dalam system ekonomi liberal dan kapitalis. Melalui konsep memperhatikan nasib kaum fakir, miskin dan dhu’afa itulah melahirkan ajaran tentang kewajiban zakat yang diikuti dengan anjuran berinfak secara sukarela. Ketentuan ajaran ini menekankan bahwa kelebihan harta benda yang dimiliki seseorang ada hak orang yang lemah dan butuh perhatian serta bantuan. Meremehkan perintah dan anjuran berinfak termasuk perbuatan yang menyebabkan bahaya dan kerusakan harta pada umat secara keseluruhan.

Zakat sebagai salah satu jenis filantropi yang status pelaksanaannya adalah “wajib” sebenarnya bertujuan merealisasikan fungsi-fungsi sosial, ekonomi, permodalan dalam masyarakat Islam, di samping tujuan ibadah. Dari aspek tujuannya, zakat untuk mensucikan jiwa dari sifat kikir sebagai perbuatan tercela; zakat itu mendidik berinfak dan memberi; dengan zakat manusia diajak berakhlak (kasih sayang) dengan akhlaknya Allah swt, sebab Allah itu Maha Rahman dan Maha Rahim; zakat merupakan manifestasi rasa syukur terhadap nikmat Allah yang diterimanya; zakat menjadi pengobat hati dari cinta dunia; zakat juga mengembangkan kekayaan batin; zakat termasuk ajaran menarik simpatik. Bahkan dewasa ini zakat bukan semata-mata digunakan untuk tujuan diatas, melainkan dijadikan sebagai instrument penjaminan atau lainnya yang berkaitan dengan ekonomi melalui peran perbankan.

Filantropi yang bersifat wajib (zakat) bertujuan selain untuk ketaataan kepada Allah swt yang memberikan gambaran tentang tingkat keberagamaan seseorang dalam mengimplementasikan ajaran agamanya. Tetapi zakat sesungguhnya berdimensi sosial (ibadah maaliyah) dimana seseorang yang konsisten melaksanakan hubunbgan dengan Tuhannya harus memberi ruang untuk memperhatikan apa yang menjadi hajat orang lain khususnya kaum dhu’afa. Berzakat menggambarkan pula kesejatian seseorang sebagai makhluk sosial dan juga menyadarkan hidup ini perlu membangun harmonisasi kehidupan. Kewajiban zakat bagi umat Islam sebagai manifestasi dari membangun keseimbangan dari orang kaya kepada orang miskin; besaran kewajiban yang harus ditunaikan adalah sebesar 2,5%. Tujuan lainnya untuk: a) menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam; b) merapatkan dan mendekatkan jarak serta kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat; c) menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana dalam masyarakat; d) menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan biaya hidup bagi para gelandangan. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Selain zakat ada wakaf seperti dijelaskan dalam Undang-Undangnya Nomor 41 Tahun 2004 bahwa tujuannya adalah memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Dan fungsi wakaf itu adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk terpenuhinya fungsi wakaf maka harta wakaf itu harus diinvestasikan kedalam kegiatan: pembangunan asrama dan kegiatan ibadah, sarana dan prasarana Pendidikan dan Kesehatan, membantu fakir miskin dan anak terlantar, memajukan dan meningkatkan ekonomi umat melalui kegiatan usaha, dan memajukan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Amalan ini telah banyak diimplementasikan oleh Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan selain yang dibentuk oleh Pemerintah yakni Badan Wakaf Indonesia (BWI). Bahkan dalam system pengelolaannya Lembaga sosial kemasyarakatan menggabungkan menjadi satu kesatuan dengan nama yang beragam, misalnya: LAZISNU, LAZISMU, LAZISWAF, Dompet Dhu’afa Republika, dan lain sebagainya.

Infak pada dasarnya memiliki kesamaan dengan sedekah yakni memberikan dan mendermakan sesuatu kepada orang lain. Artinya antara infak dan sedekah berujuan untuk ikut serta menanggulangi kekurangan kebutuhan hidup dari orang lain dalam hal ini fakir miskin dan dhu’afa. Walaupun infak dari aspek penyalurannya lebih diutamakan kepada keluarga dekat yang kategori dhu’afa setelah baru kepada orang-orang fakir miskin lainnya. Sementara sedekah lebih umum dan luas cakupannya (bahkan zakat pun disebut sebagai sedekah). Sedekah bisa bersifat materi dan juga non materi. Senyum pun termasuk bagian dari sedekah.

Jika mencermati tujuan dari filantropi yang dikembangkan saat ini, umat Islam dan masyarakat perlu mewaspadai. Mengapa demikian, penyebaran kotak-kotak amal yang diberi label dengan ragam model dan bentuknya itu bisa menjadi alat untuk tujuan tertentu. Misalnya: Kepolisian telah menemukan adanya penyelewengan terhadap kotak amal di wilayah Lampung ditemukan sekitar 400 kotak amal. Pelakunya terduga sebagai teroris. Hasil pengumpulan digunakan untuk kepentingan teroris, pengkaderan Islam ekstrim, gaji para pejabatnya, pembiayaan ke Suriah, pembiayaan para DPO, dan masih banyak lagi. Bahkan kepolisian juga menginformasikan bahwa kotak amal dari kalangan kelompok terduga teroris yang tersebar di minimaarker saja bisa mencapai belasan ribu kotak; hasil kotak pertahun rata-rata 50 jutaan rupiah. Oleh karena itu, jika dibuat akumulasi penerimaan kotak amal pertahun bisa mencapai 650 milyar.

Singkatnya adalah filantropi itu bertujuan agar segenap potensi filantropi yang ada dapat dimanfaatkan sedemikian rupa guna mendorong perwujudan tatanan sosial yang adil dan sejahtera. Distribusi sumber daya ekonomi secara merata serta pemberian layanan bagi segenap segmen masyarakat secara adil. Prinsip-prinsip ini diharapkan filantropi dapat memberi kontribusi bagi perwujudan cita-cita ideal tersebut demi penguatan civil society.

Usaha Membangun Keshalihan Sosial Umat

Filantropi menurut Raslan lebih dekat kepada filsafat moral dan prakteknya bersifat sosial. Cakupannya lebih luas dibanding karitas yang lebih dekat dengan ajaran keagamaan sehingga prakteknya lebih kearah individu dan mencakup pahala dan dosa. Membangun keshalehan sosial umat sebenarnya sangat ditentukan oleh kualitas hidup orang tersebut. Hal ini dapat dipahami dari konsepsi al-Qur’an yang menjelaskan tentang orang-orang shaleh itu. Orang shaleh memiliki ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh sebagian orang umumnya. Al-Qur’an surah Ali Imran (3) ayat 113-114 menjelaskan ciri-ciri dimaksud. Ketika seseorang dimasukan sebagai orang shaleh, maka sesungguhnya orang tersebut karena memiliki dua sikap: disebabkan oleh kemantapan dan kepiawiannya dalam persoalan atau sifat yang menandai orang-orang shaleh itu, dan menggambarkan adanya sikap kebersamaan yang merupakan ciri ajaran Ilahi.

Wahbah al-Zuhaily menjelaskan bahwa Islam menganjurkan untuk berdakwah meluruskan kehidupan manusia atau tingkah laku individu dan masyarakat dengan mengajak berbuat kebaikan dan kesalehan. Memerangi keburukan yang menjadi sebab stabilitas kehidupan rusak. Karena itu, Nabi memerintahkan umatnya menebar kebaikan dan memerangi perbuatan desktruktif yang menyebabkan kehinaan.

Kesalehan menurut Helmiati ada dua, yakni: kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual inilah yang biasa disebut dengan kesalehan spiritual atau riligi. Kesalehan jenis ini lebih mementingkan dan menekankan pelaksanaan ritual semata bagaimana setiap individu melakukan hubungannya dengan Tuhannya (ibadah). Sedangkan kesalahen sosial merujuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai sosial kemanusiaan. Sangat concern dengan masalah-masalah keummatan dan kemasyarakatan. Berpikir, berusaha, dan merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya. Kesalehen sosial bukan pada ketundukan terhadap Tuhan tetapi ditandai seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat untuk kepentingan bersama. Tentu makna inilah yang dititipkan Allah melalui firman kepada manusia agar dijadikan pedoman hidupnya, yakni: hablum minallah dan hablum minannas. Hablum minannas diperintahkan oleh Allah pula agar jangan hidup dengan perpecahan, permusuhan, dan bercerai berai.

Ketakwaan seseorang juga diukur dari seberapa besar kepekaan serta tanggung jawab sosialnya dilakukan. Tanggung jawab sosial itu melalui ajaran: infak, sedekah, dan ihsan. Bersikap dermawan, memberikan hak kepada kaun kerabat dan orang-orang miskin serta dilarang bersikap boros. Al-Qur’an telah menjelaskan indicator shalat (ibadah) seseorang itu telah diterima dengan baik di sisi Allah swt adalah dengan merealisasikan tanggung jawab sosial.

Mengeluarkan zakat sebagai sebuah kewajiban akan dapat dipahami dengan baik apabila didalam jiwa seseorang telah tumbuh nilai keimanan yang kokoh. Keimanan akan mendorong bahwa segala perintah yang datangnya dari Allah dan agama sesungguhnya akan diberikan balasan sebagaimana yang dijanjikan oleh pemberi perintah yakni Allah swt. Berikutnya adalah nilai kemanusiaan dan keadilan. Ketika sisi kemanusiaan manusia belum sepenuhnya dihayati, maka sulit untuk meringankan belas kasihnya kepada orang lain. Nilai inilah yang menjadikan manusia memiliki kepedulian. Sikap seperti ini banyak digambarkan dan diperintahkan oleh Allah swt agar terus dilaksanakan dan dipraktekkan.

Implementasi filantropi dalam usaha membangun kepedulian, solidaritas, kebersamaan, toleransi, dan rasa persaudaraan sebagai metode menyediakan struktur keseimbangan hubungan dalam kehidupan bermasyarakat. Nurchalish Madjid mengemukakan bahwa menciptakan kebaikan siapapun yang melaksanakannya dengan berupaya menegakkan keadilan. Melakukan pelanggaran terhadap keadilan mengakibatkan malapetaka. Masyarakat yang tidak melaksanakan keadilan dan sebaliknya membiarkan kemewahan yang anti sosial akan dihancurkan oleh Tuhan. Kewajiban memperhatikan kaum terlantar dan dhu’afa telah diperingatkan oleh Allah swt[44]. Oleh karena itu, penekanan al-Qur’an tentang sikap kedermawanan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang mendidik manusia untuk lebih humanis manusiawi. Ketika orang kaya atau berlebih memberi orang miskin “tidak memberikannya dengan kesombongan dan gaya superioritas. Demikian pula ketika orang miskin menerima dan mengambil haknya dari apa yang diberikan dari orang kaya tidak menerimanya dengan rasa hina dan rendah diri”.

Ajaran filantropi Islam (ZISWAF) yang banyak digambarkan dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad saw bagi yang mengamalkan dan melaksanakannya sebagai bukti keimanan dan kecintaan seseorang muslim terhadap perbuatan baik (ihsan) yang membawa keberuntungan dunia akhirat. Filantropi juga sebagai ibadah maaliyah ijtima’iyyah memiliki posisi sosial yang sangat penting dan menentukan. Karena ibadah maaliyyah ijtimaa’iyyah, maka siapa yang mengamalkannya telah menunjukkan kepedulian sosial dan itu termasuk sikap dan perilaku amal shaleh.

Islam sebagai agama yang memiliki prinsip wasath selalu menempatkan kepentingan individu dan kepentingan sosial dalam bingkai keseimbangan (tawazun). Alasannya bahwa ketergantungan antar manusia dalam hidup di dunia ini adalah keniscayaan. Ajaran inilah yang membuat Ibnu Khaldun menulis konsep teori sosialnya “فى أنى الإجتاع الإنسان ضرورى” dimana ragamnya kebutuhan manusia yang tidak dapat diperolehnya kecuali dengan adannya kerja sama dan interaksi sosial. Dengan memahami dan mengamalkan perintah dan anjuran menginfakkan Sebagian dari harta yang dimiliki, maka itulah jalan menjadi seorang yang ingin mencapai shaleh sosial.

Signifikansi Filantropi terhadap Pembangunan Keshalihan Sosial Umat

Dilihat dari aspek sumber:

Dilihat dari sumber, filantropi memang ajaran yang diperintahkan dan dianjurkan untuk diamalkan dalam keseharian manusia. Kebaikan hidup dan keburukan silih berganti dihadapi manusia. Akan tetapi kehidupan yang baik itu tetap menjadi harapan semua umat manusia. Kehidupan yang baik (hasanah) menurut Ali Yafie berpangkal dari keselamatan yang berkembang menjadi kesejahteraan, kecukupan, kemudahan, dan kenyamanan yang bermuara kepada kebahagiaan lahir dan batin. Capaian ini banyak disinggung dalam al-Qur’an dengan ragam penyebutan: al-hasanah, al-khair, al-rizq, al-mal, al-falah, al-shalah, al-salam, al-amn; yang kesemuanya mengandung makna “yang baik” atau “berkualitas”. Visualisasi kehidupan surgawi yang digambarkan oleh al-Qur’an seharusnya dijadikan perangsang bagi umat untuk memantulkan gambaran kehidupan surgawi itu ketika mereka telah mencapai kesejahteraan sosial ekonomi. Filantropi sebagai sikap yang bernilai kebaikan sangat berhubungan dengan istilah-istilah tersebut yang telah digambarkan oleh Allah swt dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu, eksistensi ajaran filantropi termasuk salah satu bentuk ajaran sosial yang harus dilaksanakan dan dijadikan sebagai kebutuhan atau “gaya hidup” dan jika memungkinkan dijadikan juga sebagai bagian dari “seni dan budaya”.

Selain al-Qur’an, diatas juga telah dicantumkan beberapa hadits yang secara jelas menyinggung masalah filantropi. Ada hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dimana Rasulullah bersabda:

ما من يوم يصبهح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدعما: اللهم أعط منفقا خلفا: ويقول الأخر: اللهم أعط ممسكا تلفا

Artinya:

“Setiap hari Ketika seorang hamba memasuki waktu pagi, pasti ada dua malaikat yang turun; salah satunya berkata: “Ya Allah berilah pengganti kepada orang yang menginfakkan hartanya; sedangkan yang lain berkata: Ya Allah berilah kerugian kepada orang yang menahan hartanya.

Filantropi dalam kehidupan bernegara, juga telah ditetapkan dan diakui sebagai salah satu model dan bentuk Lembaga keagamaan yang berdimensi sosial ekonomi. Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat” (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115). Undang-Undang ini telah diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 38). Peraturan ini menjelaskan tentang landasan hukum pengelolaan zakat di Indonesia secara nasional. Badan Amil Zakat (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ), semua harus menjadikan peraturan dimaksud sebagai pedoman. Sekaligus peraturan ini mengakui bahwa zakat, infak, dan sedekah merupakan pranata keagamaan yang bertujuan meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Adapun wakaf telah ditetapkan melalui beberapa peraturan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, kemudian terbit Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, kemudian diterbitkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku ketiga, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159). Selanjutnya diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105). Peraturan tersebut juga mengakui bahwa Lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dilihat dari aspek sosial Ekonomi

Islam mengajarkan untuk berbuat adil dan sekaligus berusaha menjadi pelopor dan penegak keadilan. Keadilan itu merupakan pilar tegaknya masyarakat yang etis dan egaliter. Maka filantropi Islam merupakan bagian dari sarana untuk berbuat adil dalam bidang distribusi ekonomi. Filantropi secara konseptual sebagai instrument utama untuk memberikan jaminan sosial, mengikis kemiskinan, membatasi disparitas ekonomi yang berlebihan dan merangsang aktivitas ekonomi dengan mentransfer daya beli substansial kepada yang tidak memiliki. Filantropi menjadi pengawas tumbuhnya disparitas pendapatan dan menjembatani celah antara si kaya dengan si miskin dengan system distribusi yang membawa keadilan sosial ke masyarakat.

Dilihat dari aspek Pendidikan

Hampir rata-rata Pendidikan yang berbasis keagamaan mendapatkan asupan dana pengembangan dari filantropi. Misalnya: Pondok Pesantren Moderan Darussalam Gontor memiliki lahan wakaf yang luas dan pengelolaannya lebih ke produktif dan implikasinya dapat membangun sarana prasarana Pendidikan. Hal serupa terjadi di Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia; Badan Wakaf Universitas Muslim Indonesia, dan yang tidak terlupakan pula adalah Lembaga Pendidikan Alkhairaat dimana sebagian besar madrasahnya berdiri diatas tanah wakaf.

Dilihat dari aspek Kesehatan

Filantropi dengan segala macam dan bentuknya telah mencatatkan peran dan kontribusinya dalam membangun umat dan masyarakat yang sehat. Hal ini dibuktikan dengan: Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 diamanahkan sebagai Lembaga pengelola zakat, infak, dan sedekah secara nasional telah membangun banyak fasilitas Kesehatan. Di Kota Palu tepatnya di Jl. W.R. Supratman telah direhab rumah sakit bersalin Siti Aisiyah menjadi Rumah Sehat BAZNAS, di Desa Siniu juga telah berdiri Rumah Sehat BAZNAS. Dhompet Dhu’afa Republika juga telah membangun Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) bahkan telah membangun Rumah Sakit yang pasien utamanya adalah dari kalangan dhu’afa. LAZISMU yang dikelola oleh Muhammadiyah khusus di kota Palu belum lama ini telah diresmikan penggunaan sebuah Klinik Kesehatan yang bertempat di Jl. Jabal Nur (dibagian atas kampus Universitas Muhammadiyah Palu).

Ketika umat dan masyarakat, telah terpenuhi kesejahteraan, ekonomi, pendidikan, lapayanan, kesehatan, dan sesuatu yang menjadi kebutuhan pokoknya; maka dengan mudah melaksanakan perintah agama yang akhirnya menjadikan orang yang shaleh. Orang shaleh adalah orang-orang yang telah melaksanakan dengan baik ajaran agamanya yang bersifat ritual dan terimplementasikan dalam realitas pergaulan kesehariannya. Bagi yang mendermakan Sebagian dari harta kekayaan yang dimilikinya akan menjadi amalan yang dilipatgandakan Allah swt yang akan diperolehnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Akan terlahir sifat rasa syukur terhadap segala nikmat yang diperolehnya. Dengan demikian hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-Akhirah dapat tercapai.

Penutup

Konsep Filantropi merupakan sebuah instrument membangun kekuatan umat dari dua dimensi secara bersamaan, yakni: dimensi mahdhah dan dimensi sosial. Dimensi mahdhah Ketika seseorang menunaikan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan bentuk derma lainnya berarti telah mentaati perintah dan ajaran Allah swt. Ketaatan tersebut adalah bagian dari perbuatan ibadah yang diperoleh balasannya secara individu. Adapun dimensi sosial, bahwa apa yang dikeluarkan yang bersifat kebendaan atau pun non kebendaan yang ditujukan untuk ikut serta menanggulangi masalah-masalah sosial umat, berarti orang tersebut telah melaksanakan amalan sosial. Amalan ini menjadi jembatan membangun hidup yang harmoni dan persaudaran.

Ajaran filantropi adalah ajaran yang selalu mengingatkan bahwa kepemilikan harta bukanlah mutlak melainkan hanya sebagai pemegang Amanah. Sebagai pemegang Amanah harus dipertanggung jawabkan kepada pemiliknya yaitu Allah swt. Ajaran filantropi juga telah mengingatkan kepada manusia bahwa seberapa banyak yang didapati dari hasil usahanya disana ada hak-hak orang lain yang membutuhkan. Ajaran filantropi juga telah mendidik manusia untuk selalu hidup dengan sifat qana’ah, syukur, ikhlas, dan ridha. Ajaran filantropi juga mengajarkan bahwa ketimpangan sosial serta segala turunannya tidak dapat diselesaikan secara individual akan tetapi diselesaikan secara terorganisir dan melembaga. Filantropi itu intinya mengedukasi: sifat amanah, qana’ah, syukur, ikhlas, ridha, ikhtiar, dan tawadhu’. Semua sifat ini menunjukkan tingkat keshalehan seseorang.

Dengan demikian, filantropi memiliki siginifikansi terhadap pembangunan kepribadian umat dan masyarakat menjadi pribadi dan komunitas yang shaleh ritual dan shaleh sosial. Keshalehan ritual dan keshalehan sosial menjadi jembatan untuk mencapai kehidupan yang “hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-akhirah”.

*Orasi Ilmiah disampaikan saat Wisuda Sarjana ke-XXXII dan Profesi Dokter ke-IX Universitas Alkhairaat tanggal 15 Desember 2022/Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Alumni

 

 

 

 

 

 

 

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *