PENGARUH PENGGUNAAN BAHASA TERHADAP KESEHATAN MENTAL

PENGARUH PENGGUNAAN BAHASA TERHADAP KESEHATAN MENTAL

Oleh: Rani Fardani, S.S.,M.Pd.*

“Hei bayaaa!, Woi doyo!” kata-kata ini sering terdengar di kalangan remaja bahkan dewasa hingga anak-anak juga fasih mengucapkannya, entah untuk memanggil atau hanya sekedar sapaan yang dianggap biasa saja. Bahasa lokal ini berasal dari bahasa Kaili yakni dari daerah Palu. Kata-kata tersebut jika dicek dalam Kamus Kaili Ledo-Indonesia-Inggris, baya  berarti tidak beres pikirannya/ sinting/ agak gila dan doyo berarti bodoh/ tolol.

Bahasa lainnya yang sering terdengar pula misalnya anjay, anjir, dikatakan sebagai kata gaul kekinian yang semakin menyebar luas mulai dari tulisan di media sosial maupun tayangan-tayangan di televisi. Banyak orang tidak mau ketinggalan bahkan ikut-ikutan menggunakan kata-kata tersebut untuk menunjukkan bahwa mereka eksis dan gaul walaupun banyak diantara mereka tidak mengetahui arti, makna atau asal bahasa tersebut.

Kata anjay, anjir, njer, njir, njay muncul dan populer di masyarakat terutama kalangan milenial tertentu. Kata-kata tersebut merupakan plesetan atau umpatan dari kata anjing yang terkesan kasar saat diucapkan. Kata-kata ini menjadi pro-kontra karena menimbulkan perbedaan persepsi antar masyarakatnya. Bagi anak muda yang terbiasa mengucapkannya menganggap bahwa kata-kata tersebut bukan bermaksud berkata kotor melainkan simbol keakraban. Namun di sisi lain, masyarakat tertentu menganggap bahwa kata-kata tersebut bermakna kasar dan dapat merusak moral anak-anak sebagai penerus bangsa.

Kata-kata gaul tersebut jika dicek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita tidak akan menemukan artinya. Mengapa? karena kata-kata tersebut merupakan bahasa gaul atau prokem dan hanyalah sebuah kata yang diplesetkan. Bahasa prokem merupakan bahasa sandi yang digemari dan digunakan oleh kalangan remaja tertentu. Bahasa tersebut tidak dapat masuk dalam KBBI karena bukanlah bahasa yang baku sesuai ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebuah kata untuk masuk dalam KBBI juga harus disetujui oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta para ahli bahasa.

Seiring dengan perkembangan zaman, berkembang pula berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari mulai dari gaya hidup hingga penggunaan bahasa. Kosakata dalam sebuah bahasa kini semakin bervariasi seiring berkembangnya teknologi yang membawa masuk pengaruh luar ke dalam suatu masyarakat. Kecanggihan teknologi mulai dari tontonan televisi atau penggunaan gawai pribadi yang sulit terfilter baik  buruknya.

Seluruh informasi ditelan mentah-mentah tanpa mencari tahu lagi informasi tersebut apakah baik atau buruk maknanya. Penggunaan bahasa akan mengakar dan berakar dari kultur atau budaya manusia, yakni hasil pikiran, akal budi, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar dirubah. Oleh karena itu, selain digunakan untuk berkomunikasi, bahasa juga memiliki banyak fungsi sosial dan kultural, misalnya menandakan identitas suatu individu/ kelompok masyarakat, stratifikasi sosial dan untuk variasi sosial atau hiburan.

Jika dikorelasikan ke dalam agama Islam, terdapat ajaran “setiap perkataan adalah doa” yang mengandung makna bahwa hendaklah setiap orang menjaga lisannya, berhati-hati dalam setiap ucapannya dan berupaya melahirkan ucapan-ucapan yang mengandung makna kebaikan dan kebenaran. Dalam Islam mengajarkan orang tua untuk tidak memanggil anak dengan sebutan-sebutan yang mengandung makna negatif sepeti bodoh, tolol, kurang ajar atau semacamnya, karena kata-kata tersebut akan menjadi doa yang tertempel di pikiran, hati dan perasaan si anak.

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar senantiasa menghiasi diri dengan perangai yang baik, baik dalam perbuatan maupun ucapan, sopan dan santun dalam berbahasa karena dari bahasalah cerminan jiwa dan mental seseorang. Ucapan merupakan cerminan dari apa yang ada di dalam hati dan pikiran seseorang. Jika memiliki pemikiran dan perasaan yang baik, maka ucapan-ucapannya juga akan baik. Jika bahasanya baik maka baiklah mentalnya dan jika bahasanya tidak baik maka mentalnya pun akan tidak sehat.

Semakin cerdas emosi dan spiritual seseorang, maka akan semakin baik dan efektif serta konstruktif pembawaan bahasanya. Sebaliknya, semakin buruk cara berbahasa seseorang, maka semakin rendah tingkat kecerdasan emosi dan spriritualnya. Ini menunjukkan bahwa bahasa terkait dengan kondisi psikologis seseorang, lebih jauhnya dan lebih buruknya bahasa seseorang bergantung pada seberapa sehat mental/ jiwanya.

Kesehatan mental adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang baik secara fisik, intelektual dan emosional. Menurut Dadang Hawari sebagai seorang psikiater dan pendakwah mengatakan bahwa kesehatan mental adalah satu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan tersebut berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Kesehatan mental yang baik adalah ketika kondisi batin kita berada dalam keadaan tenang sehingga menjadikan seseorang dapat menikmati kehidupannya sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitarnya.

Sebaliknya, orang yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, pengendalian emosi yang tidak stabil sehingga mengarah pada perilaku yang buruk. Kesehatan mental yang terganggu dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan sehari-hari misalnya merusak interaksi atau hubungan sosial dengan orang lain, munculnya rasa tidak percaya diri, menurunkan prestasi dan produktivitas seseorang. Dalam kaidah pergaulan Islam, penggunaan bahasa-bahasa yang mengandung makna negatif tidak diperbolehkan karena dapat merusak esensi pergaulan yang mengutamakan kemuliaan dan kesantunan dalam pergaulan, apalagi ketika memaknai arti penggunaan bahasa yang digunakan dapat melukai hati orang lain hingga mempengaruhi kesehatan mental seseorang.

Masalah-masalah yang timbul pada kesehatan mental seseorang adalah salah satunya dari penggunaan bahasa. Sering kita mendengar dan melihat pemberitaan di televisi atau media sosial, akibat penggunaan bahasa seseorang yang tidak terkontrol menjadikan orang lain tersinggung dan berakibat adanya tindakan kriminal, seperti pemukulan hingga pada pembunuhan karena efek ketersinggungan, atau tindakan bunuh diri pada anak karena penggunaan bahasa dari temannya atau lingkungan sekitarnya yang menjadikan dirinya merasa ter-bully secara mental sehingga tidak mampu meredam rasa ketidakpercayaan diri yang berakibat bunuh diri sebagai jalan akhir dari jiwa yang telah terluka akibat dari kemerosotan penggunaan bahasa manusia.

Oleh karena itu, menjadi tugas bersama untuk saling menjaga kesehatan mental dengan mengedukasi sejak dini mulai dari lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan sosial yang lebih luas.sehingga bahasa-bahasa yang dapat merusak mental dapat terkikis secara perlahan tergantikan dengan bahasa-bahasa yang santun, indah, berisi muatan-muatan positif pembangun mental yang sehat dan penuh kekuatan makna demi generasi emas di masa mendatang. Maka dari itu, marilah kita merefresh dan mengevaluasi bahasa kita hari ini… sudahkah kita berbahasa yang baik dan benar ? atau apakah bahasa kita telah merusak mental orang lain…? dan jika kita telah merusak mental orang lain, apakah pertanda kita hebat…?

*Penulis adalah Dosen Yayasan Fakultas Sastra Universitas Alkhairaat.

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *