RUMAH SAKIT DAN HILANGNYA FUNGSI SOSIAL
Oleh: dr. Magfirah Al’amri, MARS*
Dewasa ini pandangan masyarakat terhadap Rumah Sakit mulai bergeser, rumah sakit mulai kehilangan esensi utamanya dalam masyarakat yakni dalam fungsi sosial. Jika ditelisik lebih dalam, di kutip dari WHO (World Health Organization), Rumah sakit merupakan institusi yang merupakan bagian integral dari organisasi kesehatan dan organisasi sosial berfungsi mengadakan pelayanan kesehatan yang lengkap, baik kuratif maupun preventif bagi pasien rawat jalan dan rawat inap melalui kegiatan pelayanan medis serta perawatan. Rumah Sakit sebagai institusi memiliki peran yang seimbang baik dalam peranannya dalam organisasi kesehatan maupun organisasi sosial.
Hari-hari ini Rumah Sakit mulai kehilangan identitasnya sebagai sebuah organisasi sosial. Ini bukan opini yang sekedar sambil lalu, karena ada begitu banyak kasus yang secara terang-terangan menunjukkan bahwa sebenarnya fungsi sosial rumah sakit makin lama makin tergerus dengan fungsi lain yang lebih seksi, fungsi yang membuat banyak mata akhirnya melirik untuk ambil bagian didalamnya, ya! fungsi rumah sakit dalam tilikannya sebagai bisnis.
Berbicara terkait kewajiban rumah sakit, melihat kembali undang undang nomor 44 tahun 2009 pada pasal 29 membahas beberapa kewajiban rumah sakit, diantaranya yang secara langsung berkaitan dengan fungsi sosial adalah pada bagian yang menyebutkan bahwa rumah sakit menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat yang tidak mampu atau miskin.
Secara eksplisit menyebutkan bahwa rumah sakit melaksanakan fungsi sosial antara lain, dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
Benar, bahwa untuk menjalankan sebuah rumah sakit, yang memiliki kompleksitas begitu beragam, mulai dari tenaga, hingga keragaman dalam pelayanan tidaklah mudah, perlu untuk secara matang memikirkan banyak hal, dan pembiayaan bukan sesuatu yang bisa dipandang mudah, biaya operasional rumah sakit begitu besar dan yang menjadi tantangannya adalah bagaimana agar rumah sakit tetap tetap dapat berjalan, rumah sakit tetap mampu menghidupkan dirinya sambil menghidupi juga para pekerjanya, tanpa melepaskan fungsi sosial yang adalah juga merupakan amanat didalam undang undang.
Pada akhirnya tantangan ini tidak bisa lantas dijadikan keabsahan bahwa fungsi sosial dapat begitu saja diabaikan dari rumah sakit. Tetap penting menjaga marwah rumah sakit dalam fungsi sosialnya, tetap penting memastikan rumah sakit punya porsi untuk itu.
Lebih lanjut pemilik rumah sakit harus menyadari hal ini, dan tidak semata memandang rumah sakit sebagai komoditi penghasil pundi-pundi. Pemilik rumah sakit sejak awal harus memahami bahwa fungsi sosial bukan hanya sekedar ada, dan dilakukan, tetapi harus benar-benar menjadi bagian dari perencanaan yang dipersiapkan. Perencanaan ini yang akan menjadi bukti bahwa memang rumah sakit secara berkesinambungan menjalankan fungsi sosial, perencanaan juga menjadi suatu perwujudan bahwa rumah sakit tidak lantas melepaskan diri dari tanggung jawab nya dalam fungsi sosial.
Saat ini merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPN), Sulawesi Tengah masih menduduki peringkat 9 dari 10 kota termiskin di Indonesia. Hal ini menggambarkan begitu banyak PR pemerintah Sulawesi Tengah, terutama kota Palu, karena sebagai ibu kota provinsi ternyata masih banyak gelandangan, kelompok fakir miskin hingga hari ini masih dibawah garis kemiskinan. Dengan presentase masyarakat miskin yang mencapai 12,41 persen, ditambah lagi dengan beberapa kebijakan di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah yang hingga saat ini masih belum mencapai UHC (Universal Health Coverage) dimana berarti beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah belum mencapai target 98 persen dari total populasinya mendapatkan penjaminan kesehatan. Hal ini tentu menjadi beban tersendiri untuk pemerintah Sulawesi Tengah secara umum, dan secara langsung juga berdampak pada fasilitas pelayanan kesehatan, terutama saat masyarakat membutuhkan pelayanan di rumah sakit.
Pernah suatu hari ada kasus seorang gelandangan tanpa identitas yang akhirnya dinamai Mr. X, tidak sadarkan diri tergeletak begitu saja dijalanan, dan akhirnya orang yang menemukan ragu untuk membawa ke RS karena tidak jelas identitas korban. Akhirnya korban dibawa ke RS, dan ditangani hingga menjemput ajal. Mr. X karena tidak memiliki identitas dan tak seorangpun keluarga mencari hingga akhir hidupnya. Dalam kasus ini pihak dinas sosial kota Palu turut ambil bagian dalam memberikan bantuan, namun tetap tidak memiliki pendanaan khusus untuk pembiayaan kesehatannya, alhasil kembali menjadi beban RS. Ini bukan kali pertama terjadi, dan banyak yang pada akhirnya berakhir dengan tidak dibawa ke RS, hingga menjemput ajal.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa selain tercantum dengan jelas dalam pengertian globalnya, fungsi sosial rumah sakit juga telah menjadi suatu amanah yang secara tegas dititipkan dalam undang- undang nomor 44 tahun 2009. Pertanyaannya masihkah fungsi sosial tersebut menjadi suatu hal mendasar dalam jalannya roda perumahsakitan? Tentunya kembali kepada komitmen awal pemilik saat memutuskan membangun suatu organisasi kesehatan yang juga organisasi sosial; rumah sakit. Komitmen pimpinan rumah sakit untuk menjalankan rumah sakit sesuai ketentuan perundang undangan yang berlaku juga menjadi tolak ukur penting dalam menjaga rumah sakit tetap berada pada fungsi sosialnya.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat dan Direktur RSU SIS Aldjufrie Palu.