Visum et Repertum, Dilema Antara Cinta dan Derita

Oleh: dr. Nasrun*
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada pelaporannya ke pihak berwajib dan penanganannya oleh tenaga medis dirumah sakit, sering menjadi kendala rumah tangga yang sedang mengalaminya, hal ini disebabkan karena adanya masalah keluarga yang tentunya menjadi aib dan diketahui oleh orang lain, hal tersebut menjadi dilema antara melapor atau hanya menerima kondisi yang ada dikarenakan malu sehingga mengancam nyawa bagi korban KDRT.
Pada pelayanan kedokteran, demi kepentingan hukum (Medikolegal) terdapat dua jenis pelayanan, yaitu pada korban hidup dan korban meninggal dunia, pada korban hidup alur yang telah ditampilkan diatas merupakan penanganan kekerasan berbasis non Pusat Krisis Terpadu (PKT) di rumah sakit dengan memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif pada korban kekerasan, termasuk pengobatan fisik dan psikologis.
Sesuai alur, awal pelayanan setelah korban KDRT datang ke IGD rumah sakit, dokter IGD segera melakukan pemilahan berdasarkan kondisi medis saat datang, apakah masuk pada kategori satu (kritis), pasien dengan kondisi yang memerlukan penanganan segera untuk mencegah cidera atau kecacatan yang sangat serius hingga kematian, kategori dua (darurat), pasien dengan kondisi yang memerlukan penanganan cepat untuk mencegah komplikasi atau kecacatan, kemudian kategori tiga (non-darurat), kondisi yang dapat ditangani dengan prioritas lebih rendah.
Pada beberapa kondisi, pasien atau korban KDRT datang dengan keluhan trauma atau luka bekas kekerasan yang tanpa diketahui penyebab awal dari kondisi yang dialami, hal tersebut dimaklumi oleh dokter yang memeriksa korban di IGD rumah sakit, karena korban masih mempertimbangkan apakah berterus terang atau tidak memberikan pengakuan dari kekerasan yang dialami dengan berbagai pertimbangan seperti anak yang masih butuh dinafkahi atau pertimbangan alasan lainnya yang telah diutarakan sebelumnya.
Sebagai dokter yang menerima tentunya membutuhkan perhatian khusus menganalisa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan dan komunikasi yang dibangun atas kepercayaan untuk memberikan keyakinan berupa pengungkapan dari pengakuan penyebab luka yang dialami oleh pasien atau korban KDRT, setelah ada keyakinan diri pada korban untuk mengungkap penyebab apa yang telah dialami, maka dengan demikian tidak ada alasan bagi dokter untuk tidak mengarahakan korban membuat laporan polisi atau wilayah hukum tempat kejadian perkara (TKP) agar segera diterbitkan Surat Permintaan Visum (SPV) sehingga ada Legal Standing dari hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis komunikasi verbal yang telah didapatkan akan dituangkan dan diterbitkan dalam suatu catatan laporan (Repertum) yang berasal dari pengamatan (Visum) yang akan menjadi alat bukti Visum et Repertum di persidangan.
Penulis adalah: Bagian Forensik Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat /Bidang Pelayanan di RSU SIS Al Djufrie*