Patriotisme Progresif (Sosok Pahlawan Baru Yang Diharapkan)
Ketika peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1956, Presiden Sukarno mengatakan seperti disarikan oleh mantan Mensos Khafifah Indar Parawansa bahwa ada tiga fase revolusi bangsa ini yaitu:“taraf physical revolution, taraf survival, taraf investment”.Fase pertama dan kedua telah dilewati. Sedangkan fase ketiga akan dihadapi dan siap menghadang.
Faseinvestment (ketiga) adalah taraf menanamkan modal dalam arti seluas-luasnya. Investment itu sendiri oleh Sukarno mencakup tiga jenis, yakni: investment of human skill, material investment, dan mental investment.”Investasi keterampilan dan material amat penting; tetapi yang lebih penting lagi adalah investasi mental. Bung Karno mengingatkan: “Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang percaya diri sendiri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar-negeri; kurang percaya-mempercayai satu sama lain, padahal kita pada asalnya ialah rakyat gotong-royong; kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ‘carigampangnya saja; semua itu karena makin menipisnya:“rasa harkat nasional, rasa ‘national dignity’, rasa bangga dan rasa-hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa dan rakyat sendiri.”
Gagasan tersebut sebenarnya melegitimasikan kalau kita boleh membangun bangsa ini dengan investasi keterampilan dan material; akan tetapi tidak bisa menjadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari “investasi mental”. Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan keterampilan dan material hanya akan melanggengkan perbudakan; dan kenyataan hari ini dapat disaksikan. Serasa kehidupan bangsa diperbudak oleh kemenangan investasi keterampilan dan investasi material. Kita dapat menyaksikan bahwa program pembangunan fisik dan material sebagaimana yang dilaksanakan oleh pemerintahan saat ini merupakan bukti bahwa investasi jenis ini masih sangat mendominasi. Tetapi dibalik dominasi tersebut; masyarakat ini seakan-akan kosong dari nilai-nilai humanis, persatuan, gotong-royong, yang kaya semakin meroket kekayaannya; dan yang miskin semakin melarat dan sengsara; bangsa ini semakin dijajah oleh bangsa lain melalui program pembayaran hutang; di saat yang sama rakyat semakin merasakan ketertindasannya oleh kebijakan penguasanya.
Kekuasaan diperebutkan laksana sebuah mata intan yang dapat menyilaukan mata jika dipandang. Demi meraih kekuasaan kita rela mengorbankan apa saja. Tapi hampir saja kita lupa bahwa dibalik kekuasaan ada tanggung jawab besar yang dituntut dunia akhirat. Keberpihakan terhadap rakyat atas kekuasaan terasa terpisah. Padahal tujuan kekuasaan itu bukanlah seberapa banyak materi dan popularitas yang diperolehnya; melainkan sejauh mana rakyat yang dipimpinnya merasa adanya kedamaian, keamanan, ketenteraman. Hari ini yang punya kekuasaan tidak bisa dikritik dan protes, apalagi dicaci maki; jika siap memegang kendali kekuasaan harus siap menerima pula konsekuensi buruk sekalipun yang akan ditimpahkan kepadanya, akan tetapi hari ini yang ada hanyalah saling lapor melapor dan jarang ditemukan kata “saling memaafkan”. Jika yang dihujat adalah penguasa maka dengan mudah masyarakat diadukan kepihak yang berwenang; kita tidak menemukan permintaan maaf dari yang dihujat. Bukankah meminta maaf terlebih dahulu dari mereka yang membuat kesalahan terhadap kita suatu kemuliaan? Sungguh ini tidak menjadi perilaku para penguasa dan masyarakat kita. Begitu lemahnya jiwa dan bathin ini.
Kita semua hanya bisa melantunkan dengan fasih lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya kemudian bangunlah badannya. Akan tetapi realitasnya jauh dari hikmah tersebut. Membangun jiwa berarti memperkokoh mentalitas kebangsaannya. Sehingga dengan itu sekalipun melihat adanya kesempatan meraup materi karena adanya kekuasaan padahal itu akan merugikan Negara; tidak akan pernah dilakukannya karena jiwa yang melahirkan patriotisme tanah air menjadi penghalang melakukannya. Apalah artinya postur tubuh yang gagah nan menawan; tetapi jiwa/rohnya kosong dari spiritualitas; maka manusia yang seperti ini nampak hidup tetapi hakikatnya mati. Apalah artinya negeri ini dibangun diseluruh pelosok, namun penderitaan rakyat masih dengan mudah ditemukan. Apalah artinya kekayaan alam ini dikeruk namun menyengsarakan rakyat dan bahkan tergadaikan bangsa ini. Sehingga yang wajib dibangun adalah jiwa patriotism kenegaraannya. Jiwa itulah yang dilakukan oleh arek-arek Suroboyo mampu mengusir penjajah; dan mereka tidak memperhitungkan berapa yang harus mereka korbankan.
Hari ini kita memperingati hari Pahlawan, berperang melawan musuh tidak adalagi sehingga tidak mungkin kita menjadi pahlawan. Tetapi pahlawan akan tetap ada dalam hidup ini. Oleh sebab itu, untuk membangun sebuah bangsa yang kokoh dan tangguh perlu adanya revitalisasi mental seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan kesiapannya menjadi pahlawan progresif yang siap melakukan perubahan dan perbaikan demi kemajuan Negara. Bukan justru sebaliknya bekerja demi hancurnya bangsa dan Negara.Menjadi pahlawan seyogyanya ditunjukkan melalui upaya melakukan revolusi hidup kearah yang bermakna.
Revolusi hidup baru yakni revolusi mental yang bertujuan menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali. Berjiwa api yang menyala-nyala (inilah yang dikatakan oleh mantan Mensos Khafifah Indar parawansa).”Inilah jiwa patriotism progresif yang harus dikobarkan dalam menghadapi tantangan dan persoalan pembangunan bangsa ini. Tantangan dan persoalan yang kita hadapi saat ini memang berat. Akan tetapi, kita tidak boleh putus pengharapan. Para Pahlawan Kusuma Bangsa mengajarkan pada kita arti penting perjuangan, ketabahan dan harapan. Bahwa barang siapa yang ingin memiliki mutiara harus kuat menahan nafas, dan berani terjun menyelami samudera yang luas lagi dalam.
Melalui momentum Peringatan Hari Pahlawan 10 November yang dilaksanakan dengan berbagai kegiatan, kita dapat mengambil makna yang terkandung di dalamnya dengan meneladani nilai-nilai luhur yang diwariskan kepada kita semua seperti: taqwa kepada Tuhan YME, pantang menyerah, jujur dan adil, percaya kepada kemampuan sendiri serta kerja keras untuk membangun Indonesia yang sejahtera sebagaimana cita-cita para Pahlawan Bangsa.Meminjam ungkapan Bung Karno, semangat kepahlawanan itu adalah semangat rela berjuang, berjuang mati-matiandengan penuh idealisme dengan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Bukan sebaliknya berjuang mati-matian untuk meraih keuntungan individu atau kelompok. Semangat Kepahlawanan setelah kemerdekaan yakni semangat penuh patriotisme yang lebih positif dan progresif. Patriotisme sejati bukan sekedar mempertahankan kemerdekaan itu; melainkan juga memperbaiki keadaan negeri. Untuk keluar dari berbagai persoalan bangsa hari ini, patriotism progresif dituntut menghadirkan kemandirian bangsa tanpa terperosok pada sikap anti-asing.Dalam rangka mencapai perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, patriotisme progresif harus mengembangkan ketahanan bangsa untuk bisa mandiri dalam ekonomi, berdaulat dalam bidang politik,dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Singkat kata, gerakan revolusi mental “untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat burung garuda serta berjiwa api yang menyala-nyala yang dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila harus dikobarkan sebagai implementasi jiwa patriotism progresif guna menggusur tuntas segala masalah yang menghambat percepatan pencapaian tujuan pembangunan bangsa yakni “masyarakat adil dan makmur”.SelamatHariPahlawan, WallahulA’lam!
Penulis; Dr.Ahmadan B. Lamuri,S.Ag.,M.H.I. (Dosen Universitas Alkhairaat & Ketua Baznas Kota Palu)