Historical Travel Team SIS ALJUFRI 1992-1993 (Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara & Maluku)

Historical Travel Team  SIS ALJUFRI 1992-1993  (Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara & Maluku)

Dr. Ibrahim Ismail, S.Ag., M.HI.*

Bermula dari perbincangan “tak serius alias bincang ala aktivis mahasiswa tahun 90-an, terbayang bagaimana suasana dimasa itu, pasti indah dan mengesankan. Dinamika kampus dengan berbagai latar belakang mahasiswanya menambah semua menjadi hidup, ada yang dari Manado, Bitung, Bintauna, Ternate, Gorontalo, Papua, Kalimantan, NTB, Makassar dan dari wilayah jawa serta  lainnya.

Tampak pada sosok masing-masing identitas dan karakteristik keunikan suku, apalagi dialek bahasa. dari raut wajah ada yang alus menawan, lugu dan ada yang kamal bagea angus (maaf, meminjam kata teman dari ambon), ada pula mahasiswa yang hidupnya bergaya parlente, aktivis katanya. setiap datang berkumpul selalu membawa kantongan  rapi seakan siap berbagi kepada sesama, padahal isinya puntung rokok yang dipungut disepanjang jalan Sis Aljufri menuju kompleks kampus, he he he. Sedih, senang bahkan kesal, tapi.. sungguh mengesankan, ada juga tampilan ala pengusaha, anak pejabat tapi ujung-ujung juga “Bera Burung” maaf juga hanya mengutip candaan Komandan Menwa ketika itu.

Juga maaf..,ada yang ketika lapar menghantam, perginya justru kebelakang kampus, ternyata manjat pohon pepaya, biar manta disikat rata. Katanya yang penting ada alas bisa”Bergayalah. Dan masih banyak kisah lainnya mewarnai kehidupan kampus kami kala itu. Hal yang tidak patut untuk ditiru oleh generasi saat ini. Rupanya kita seragam bergumam dalam hati  ada seuntai do’a alias harapan yang sama, “Kapan kami gantung belanga lagi Ya Allah, alias ada yang meninggal dunia, ada yang melarang tapi mau.

Kisah sedih, pilu dan senang bahagia bahkan menegangkan mewarnai kehidupan kami kala itu tahun 90-an dikampus Unisa. Membahas tentang pergerakan ketika itu tidak lepas dari dinamika. Pastilah terdapat mereka mahasiswa yang berpotensi secara akademik, banyak diantara mereka yang berprestasi dikenal sebagai “SingaPodium” baik diforum-forum seminar, forum diskusi, bahkan diarena unjuk rasa menjadi demonstran. Yang tak kalah sepinya adalah menjadi singa podium khatib jumat, sebab ada ucapan terimakasih dari ta’mir masjid usai menjalankan tugas.

Gagasan Cerdas Para Aktivis

Semua bercampur membaur dipersatukan dalam wadah perguruan tinggi Universitas Alkhairaat, kecerdasan mereka, meskipun hanya berada di perguruan tinggi swasta, tetapi tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tampil dimedan apapun. Itu fakta yang tidak bisa terbantahkan, justru nilai plusnya adalah selain kecerdasan intelektualnya, juga seiring dengan kecerdasan sosialnya, apalagi dari sisi religiusnya, itu sudah pasti.

Justru dengan keadaan itulah, mampu membentuk karakter dan keunikan seorang mahasiswa di Unisa, ditengah suasana dan dinamika kampus yang serba kekurangan, tak menyurutkan mahasiswa dalam berkompetisi kala itu, para aktivis unisa ini justru melahirkan gagasan dan ide-ide cemerlang dan produktif yang manfaatnya sangat terasa oleh semua kalangan,  teristimewa oleh abna’ul khairaat. Sebutlah misalnya dengan adanya Napak Tilas GURU TUA yang diprakarsai Resimen Mahasiswa, pramuka yang merupakan perwakilan dari semua fakultas di Universiras Alkhairaat kala itu. Manfaatnya antara lain, tersambungnya silaturrahmi antar sesama abna,  terobatinya kerinduan mereka akan kehadiran pengurus Alkhairaat dari pusat, meskipun sudah dijelaskan bahwa kami bukan pengurus alkhairaat, melainkan mahasiswa UNISA, namun mereka tidak peduli,  “pokoknya kami tau kalian dari Alkhairast Palu sambil menunjuk kearah kami yang menggunakan jaket berlogo Unisa yang didalamnya ada lambang Alkhairaat,”sebut mereka.

Karomah Guru Tua

Selanjutnya yang sangat mengesankan adalah, kami masih bisa menemukan jejak dan bahkan bukti outentik kehadiran Guru Tua memang pernah datang hingga pelosok desa. (Tentang dokumen dan hasil wawancara, akan diurai secara husus dibab sendiri). Misalnya kala itu bisa bertemu dengan para Asatiz  atau murid langsung guru tua, para saksi hidup ketika Guru Tua datang, bahkan mereka yang turut berperan dalam prosesi penjemputan, menjamu Guru Tua dan rombongannya. Yang tak kalah menariknya, tim napak tilas Guru Tua masih bisa melihat langsung benda, barang berupa cerek atau ketel air, gelas atau mok, rangka gerobak atau roda besi  dan perahu, yang saat itu digunakan Guru Tua yang tentu memiliki kisah unik masing-masing saat itu.

Sementara benda berupa kain sarung,  sorban, baju jubah dan juga tongkat sang Guru Tua, yang secara sengaja ditinggalkan oleh beliau sebagai hadiah dan kenangan  beliau kepada masyarakat yang telah menjamu Guru Tua secara baik, maupun kepada pemerintah yang telah menerimanya dan menjamunya ketika beliau datang. Masih banyak lagi bukti jejak Guru Tua yang ternyata maaf tidak bermaksud mengkultuskan beliau, tapi begitulah faktanya, barang-barang seperti disebutkan diatas, itu semua sebagian besar masih ada dan bisa dipastikan hingga kini masih tersimpan baik dan aman ditangan mereka. Mengapa? karena semua yang menjadi pemberian atau yang pernah digunakan oleh Guru Tua saat ditempat mereka, itu disimpan ditempat khusus.

Tentu ini menjadi menarik untuk diketahui alasannya,  ternyata, selain  kehadiran Guru Tua dipandang sebaai pembawa keberkahan bagi desanya sebagai Zurriyah Rasulullah Saw, maka pemberian Guru Tua dijadikan “Jimat” di rumah mereka. Kisah-kisah seperti ini sangat banyak kami dapatkan dari hasil wawancara langsung dilokasi.

Hadiah kain sarung misalnya, ini diberikan kepada seseorang yang kala itu memiliki peran pada kunjungan beliau, dengan bangga dan bersyukur luar biasa menerima hadiah itu. Singkatnya, setelah Guru Tua meninggalkan desa itu, sarung itu, langsung digunakan oleh yang bersangkutan  dipakai setiap  sholat lima waktu. Sering waktu, sarung sudah mulai termakan usia, maka sarung itu digunakan hanya setiap sholat jumat, seterusnya, sebulan sekali, hingga tinggal dalam setahun itu hanya dipakai saat idul fitri dan idul adha saja. Belum selesai kisahnya, ternyata sarung barokah itu diyakini mampu menyembuhkan orang sakit, seperti keteguran iblis atau jin, panas dan lain-lain utamanya anak-anak balita, sarung itu diambil dan sebagian dicelupkan didalam gelas berisi air putih, lalu diminumkan kepada si sakit, atas  izin Allah mereka sembuh setelah meminumnya.

Lalu kami mencoba meminta untuk kami jadikan bukti sejarah yang disimpan ditempat khusus dipalu. Karena salah satu tujuan napak tilas itu bertujuan akan membangun  “Museum Guru Tua” sehingga semua penemuan kami kala itu akan disimpan dan dipajang di Mesium tersebut.

Praktek mengajar atau Diklat 

Setiap kami singgah atau bermalam atau hanya rehat sejenak,  kami menyempatkan menemui guru-guru Alkhairaat ditempat atau desa yang kami lalui. Kalaupun kami akhirnya harus menginap, maka agendanya adalah mengisi pertemuan ibu-ibu, bapak-bapak dan khusus  para santri atau siswa madrasah. Kami mengisinya dengan masuk kelas mengajarkan berbagai ilmu, muhadharah, menyanyi lagu Alkhairaat, zafin, jepeng  hingga cara berpidato dan ceramah, melakukan pengkaderan HPA atau mengadakan pesantren kilat yang melibatkan siswa siswi bahkan remaja masjid disekitar madarasah, hasilnya,  mahasiswa baru di Unisa melonjak drastis. Semua benda atau barang bersejarah yang berhasil dibawa pulang diserahkan kepada rektor Unisa, lalu dititip dan simpan digedung perpustakaan Alkhairaat ketika itu. Dengan harapan bisa bermanfaat bagi generasi selanjutnya serta bisa terwujud “Museum Guru Tua”

Catatan Tim Napak Tilas Guru Tua 

Napak Tilas atau Perjalalan Historis Guru Tua keseluruh wilayah di nusantara, kiranya bisa menjadi agenda rutin mahasiswa UNISA. Penting dan mendesak dibangun Museum Guru Tua, sehingga kelak para anak cucu dari para abna’ dari belahan penjuru bisa menyaksikan langsung hal yang menjadi fakta peninggalan Sang Guru Tua. Bahkan ketika Guru Tua disahkan menjadi Pahlawan Nasional, maka museum itu menjadi sangat penting kehadirannya sebagai mana pahlawan nasional lainnya yang terabadikan di museum khusus.

Museum juga berfungsi sebagai pendorong tumbuhnya rasa bangga dan cinta terhadap almamaternya, apalagi terhadap  pendiri Alkhairaat dan menumbuhkan cinta tanah air atau nasionalisme, serta menjadi objek wisata religi yang mengedepankan unsur pendidikan dan pelestarian warisan budaya. Tak kalah penting, adalah menjadi pusat informasi dan dokumentasi warisan budaya bangsa. Dengan kegiatan perjalanan itu, kita banyak menemukan masalah internal yang harus disikapi secara organisatoris. Misalnya, penataan ulang struktur dari pusat hingga keranting-ranting. Pendataan asset yang sesungguhnya menjadi sumber penyangga keberlangsungan lembaga khususnya pendidikan ditengah masyarakat, itu harus menjadapat perhatian serius.

Betapa belum maksimalnya peran lembaga Badan Otonom dilingkungan Alkhairaat sehingga terkesan bekerja mengelola kegiatannya masing-masing, juga hampir disemua wilayah daerah, lembaga alkhairaat itu adanya hanya di Wilayah (Komwil) dan Daerah (Komda), selebihnya Pengurus Cabang dan ranting itu ada yang belum terjamah, sehingga jangan heran abna’ Alkhairaat kita banyak yang harus bergabung dengan ormas lainnya. Kerinduan akan perhatian dari pengurus Alkhairaat Pusat, baik Ketua Utama dan PB Alkhairaat itu sangat sangat dinantikan. Pemetaan dan pendataan sumber daya Alkhairaat menjadi hal yang mendesak agar bisa mensejajarkan diri dengan lembaga atau ormas lainnya. Penempatan SDM yang tepat, disemua jenjang kepengurusan sangat dibutuhkan dalam upaya merealisasikan amanah perguruan Alkhairaat, yang kini dituntut untuk mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman era modern. Komitmen dan kesungguhan para pengurus disemua level, harus bisa dipastikan mampu berkolaborasi, dan mempunyai waktu yang cukup dalam menjalankan roda organisasi agar mampu mengejar ketertinggalan, demi Kejayaan Alkhairaat dan perlunya perhatian khusus kepada para asatiz utamanya mengenai kesejateraan mereka, mungkin penting diberikan pelatihan khusus tentang skil mengelola sumber daya milik Alkhairaat ditempat masing-maing, misalnya pengelolaan wakaf dll.

Tim Napak Tilas Guru Tua

Ali Abdul Karim, Badri Djawara, Zubair Lakawa, Ismet Ibrahim, Zainal Hasan (Almarhum), Ali Laaba, Ibrahim Laaba, Arman Usman, Sulaiman Marhaban, Saridum, Syamsidar B. Gani, Moh. Arif A. Tola, Samad Kadim, Gazali dan Ibrahim Ismail.

Penulis: adalah Abnaul Khairaat.

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *