DARI SANTRI UNTUK INDONESIA JAYA

Oleh: Dr.Ahmadan B. Lamuri, S.Ag.,M.H.I.*
Tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari Santri Nasional. Peringatan tahun ini bertemakan “Jihad Santri Jayakan Indonesia”. Tema tersebut didasarkan pada pemikiran: eksistensi santri memiliki peran memperjuangkan kemerdekaan; santri telah aktif membangun peradaban dan moralitas bangsa; dan dengan jihad intelektualnya yang terus berkobar diharapkan jihad membangun kejayaan negeri akan tercapai. Tulisan ini fokus mengungkap karakter santri yang patut diteladani guna membangun kejayaan bangsa.
Santri yang terlahir dan terdidik dari sebuah lembaga yang namanya pesantren, merupakan generasi yang diharapkan tetap eksis memberi kontribusi kemajuan peradaban agama, manusia, bangsa dan negara. Lembaga yang melahirkannya sesungguhnya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Aspek pendidikan, aspek kepemimpinan, aspek transformasi kultur, aspek pembangunan perekonomian, aspek sosial dan kemanusiaan, aspek politik, dan bahkan aspek pertahanan dan keamanan. Sehingga secara implisit menyiratkan makna yang sangat besar dibalik kehadiran pesantren.
Di abad modern ini, kemajuan sains dan teknologi telah memberi dampak positif bagi kehidupan umat manusia, diantaranya: telah melahirkan alat transportasi yang serba cepat dan canggih, alat komunikasi yang menjadikan hubungan antar sesama manusia dengan tempat berbeda dan bahkan jauh semakin mudah dan cepat pula sekana-akan tidak ada batas lagi. Lalu lintas informasi yang serba canggih, telah menyebabkan orang di setiap negeri yang berbeda dapat mengetahui segala peristiwa yang terjadi di negeri lainnya pada waktu yang singkat. Tetapi dibalik dampak tersebut ternyata pengaruh negatif dari kemajuan sains dan teknologi adalah “dekadensi moral”. Hujat menghujat, caci-mencaci, menggunjing, mempublis aib orang lain bahkan dirinya sendiri, singkatnya semaraknya ujaran kebencian telah melanda manusia melalui keterbukaan akses sains informatika. Kemajuan yang harusnya dinikmati sebagai sarana pembangunan kemajuan peradaban manusia, justru menjadi sesuatu yang mengerikan bahkan menimbulkan gejolak intoleransi. Padahal salah satu yang patut dan terus untuk dijaga adalah kebaikan moral dan akhlak.
Memang banyak faktor yang menjadi sebab dekadensi moral yang dengannya menyebabkan krisis multidimensional. Terjadinya kemorosotan moral dalam sistem kehidupan manusia dapat menghancurkan seseorang, keluarga, komunitas, dan juga negara. Yang seyogyanya dilakukan adalah kesadaran introspeksi, evaluasi dan mencari jalan keluarnya. Kerusakan moral (akhlak) membawa pengaruh besar dalam kehidupan Bersama. Penyair besar dan terkemuka Syauqi dalam satu ungkapannya menyatakan: “Innamal Umamul Akhlaqu Mabaqiyat, Fainhumu Zahabat Akhlaquhum Zahabuu”= Suatu bangsa itu tetap hidup selama akhlaknya tetap baik, bila akhlaknya mereka sudah rusak, maka rusaklah bangsa itu”.
Oleh sebab itu, kehadiran santri dalam dinamika kehidupan masyarakat bisa menjadi bagian dari solusi penurunan kemorosotan moral yang ada. Santri telah diterpa dengan perilaku yang sangat baik bahkan mengikuti pola dan nilai ajaran agama. Mereka terus berjihad untuk kebaikan akhlak agar ketika mereka meninggalkan pesantrennya dapat diterima oleh masyarakat dan juga cepat beradaptasi dengan lingkungan dimanapun mereka berada. Ada banyak sisi yang bisa dijelaskan tentang eksistensi santri; tetapi paling tidak ada dua sisi yang dimiliki oleh santri yang patut dijadikan uswah, yakni:
Jihad Terhadap Ilmu Pengetahuan
Menuntut ilmu adalah kewajiban seperti yang Nabi Muhammad saw katakan “Thalabul ‘ilmi faridhatan ‘ala kulli muslim, ‘ala innallaha yuhibbu bughatal ‘ilmi: Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim, ingatlah sesungguhnya Allah swt mencintai para penuntut ilmu”. Ilmu merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan dengan ilmu itulah manusia dapat memperoleh kebahagiaan hidup atau apa yang diinginkan. Menuntut ilmu juga termasuk jihad fii sabilillah. Nabi Muhammad saw bersabda “Man kharaja fii thalabil ‘ilmi fahuwa fii sabiilillah hatta yarji’a” artinya Siapa yang pergi mencari ilmu, berarti dia berada dalam jihad di jalan Allah sampai dia pulang (H.R. al-Turmudzi: h. 2647). Manfaat dan keutamaan ilmu sangat banyak. Di antaranya adalah melahirkan orang yang memiliki tingkah laku yang baik sebab ilmu mengajarkannya untuk tidak menyombongkan diri dan selalu dalam keadaan tawadhu’. Santri dalam kehidupannya di pesantren memang dididik untuk mempunyai ilmu pengetahuan. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk belajar dan terus belajar. Kitab selalu berada dalam genggaman tangannya yang menunjukkan cintanya terhadap ilmu dan mereka yakin bahwa pernyataan Nabi Muhammad saw: Man salaka thariqan yaltamisu fihi ‘ilman sahhalallahu ilal jannah: Siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju surga” (H.R. Turmudzi: h. 2646). Inilah motivasi jihad ilmu pengetahuan bagi santri.
Jihad terhadap akhlak
Menjadi seorang santri bukanlah hal mudah, sebab di saat yang sama banyak generasi yang seusianya memilih menikmati segala kebebasan dan kemajuan sains teknologi; sementara santri justru berjuang dengan gigih (jihad) menuntut ilmu. Lingkungan tempat belajarnya diikat oleh ketentuan yang sangat ketat dan disiplin. Santri harus mengikuti dan taati seluruh ketentuan yang ada. Kondisi seperti ini hanyalah generasi yang mampu berbesar hati yang dapat melewatinya dengan sukses. Di balik perjuangan yang sedemikian itu, berdampak terhadap pembentukan kepribadian dan karakternya. Mengutip pandangan Aris Adi Leksono yang menjelaskan karakter santri yang khas dan unik, di antaranya:
Pertama, Theocentric yaitu sebuah nilai dalam karakter diri santri yang didasarkan pada pandangan bahwa sesuatu kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Allah Swt. Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah dan merupakan bagian integral dari totalias kehidupan keagamaan. Praktiknya santri mengutamakan sikap dan perilaku yang berorientasi pada kehidupan ukrawi dalam hidup sehari-harinya. Semua perbuatan dilaksanakan dengan hukum agama demi kepentingan hidup ukhrawi. Karakter demikian membuat santri lebih hati-hati membawa dirinya untuk tidak terjerumus pada perbuatan yang syubhat, apalagi bathil atau haram. Spritualitas yang tinggi, membuat dirinya selalu merasa diawasi sang penciptanya. Sehingga diri, amal, dan perilaku kehidupannya semata-mata oleh, dan akan kembali pada Allah SWT.
Kedua, karakter sukarela dalam mengabdi yang tercermin dari kepasrahannya dalam belajar di pesantren. Sukarela dalam melakukan setiap aktifitas pembelajaran dan pembiasaan lainnya, meskipun tanpa diawasi oleh kiai dan pengasuhnya. Bahkan terdapat santri yang sengaja mengabdikan dirinya secara terus menerus kepada sang kiai. Totalitas dilakukan karena santri meyakini, terdapat berkah yang diperolehnya setelah melakukan pengabdian secara sukarela dan sempurna kepada sang kiai. Berkah dimaksud adalah kesuksesan hidup dalam bermasyarakat kelak.
Ketiga, santri identik dengan karakater kearifan yakni bersikap sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, dan selalu berusaha mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama; menghormati perbedaan dan keberagaman. Setiap keputusan yang diambilnya mempertimbangkan lokalitas dimana dia hidup, “di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, inilah kemudian membuat santri mudah diterima oleh semua kalangan.
Keempat, kesederhanaan dan kemandirian; adalah karekter khas santri, tidak tinggi hati dan sombong walau berasal dari orang kaya atau keturunan raja sekalipun. Fasilitas pesantren yang serba terbatas mampu berperan dalam membentuk karakter kesederhanaan dan kemandirian santri. Sederhana dan mandiri bukan karena tidak mampu, tapi lebih menunjukkan pribadi yang peduli sesama, pribadi yang menyadari bahwa dunia adalah sementara. Santri paham benar pernyataan Allah swt: “al-dunya mata’” dunia ini laksana sandiwara belaka. Kesederhanaan dilambangkan dengan kesamaan dalam berpakaian dan benda yang dimiliki tanpa bermewah-mewah selama hidup di pesantren.
Oleh sebab itu, kondisi bangsa saat ini yang sedang dilanda krisis karakter: korup semakin merajalela, karakter individualis semakin mempertajam jarak antar sesama, menjadikan kemewahan hanya untuk individu dan golongannya, toleransi dan gotong royong semakin terkikis karena ego sektoral yang menguat. Dialog cultural dalam setiap kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak menjadi langkah, sehingga sering kali kebijakan hanya sebagai alat “pencitraan” yang tidak memiliki efek perubahan untuk kemajuan masyarakat umum. Sangatlah tepat jika karakter dan pola hidup santri menjadi motivasi dan contoh yang diamalkan oleh setiap warga negara. Membangun kejayaan bangsa dan negara dapat tercapai bila masyarakatnya bergaya ilmu pengetahuan, berkarakter religi dan humanis-ekonomis sebagaimana dimiliki oleh santri.
Sayyid Idrus bin Salim Aldjufrie mangatakan: “Bil’ilmi wal akhlak idrakul muna, in rumta ‘ilman la takun mutakabbiran” dengan ilmu dan akhlak akan digapai cita-cita/keinginan; bila ingin mencapai ilmu maka janganlah bersikap sombong. Ilmu dan akhlak telah menyatu dalam diri santri. ” Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia, dan santri adalah prajurit yang tidak kenal lelah memajukan pendidikan. Santri adalah generasi penerus yang tidak hanya agamis tapi intelek, bangsa yang besar di belakangnya ada santri yang selalu berdoa dan berusaha”. Selamat hari Santri Nasional 2023. Wallahul A’lam !
*Penulis adalah dosen tetap Yayasan Universitas Alkhairaat.