TANTANGAN BERPUASA DI BULAN RAMADHAN BAGI PENDERITA DIABETES

TANTANGAN BERPUASA DI BULAN RAMADHAN BAGI PENDERITA DIABETES

Oleh: dr.Adeh Mahardika,Sp.PD*

Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia. Data terakhir dari kementerian dalam negeri (Kemendagri) menunjukkan sebanyak 86,9% dari penduduk Indonesia merupakan penganut agama islam, ini setara dengan 237,53 juta orang. Disisi lain data dari International Diabetes Federation (IDF) dalam publikasi terakhir menunjukkan negara kita merupakan populasi diabetes terbesar no 5 di dunia. Ada sekitar 10.6 % dari populasi atau sekitar 19.47 juta orang penyandang diabetes di Indonesia.

Ibadah puasa di bulan ramadan merupakan satu diantara 5 pilar penting pada agama islam yang sifatnya wajib bagi setiap muslim dewasa yang sehat. Berpuasa di bulan ramadan merupakan salah satu rukun islam yang harus dijalankan oleh setiap pemeluk agama islam bagi yang sudah baligh, kecuali bagi mereka yang memiliki masalah kesehatan atau kegiatan lainnya yang memang diperkenankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan berpuasa di hari lain di luar bulan ramadhan atau menggantinya dengan membayar fidyah.

Beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang terkait dengan puasa Ramadan tercantum dalam surat Al Baqarah, seperti tersebut dibawah ini.

“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “ (QS Al Baqarah, 183).

Ayat dalam surat tersebut, merupakan ayat yang digunakan sebagai dasar keharusan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, bagi muslim/muslimah yang sudah menginjak masa baligh. Pada ayat 184, sebenarnya menjelaskan adanya keringanan untuk menunda puasa dihari lain diluar bulan Ramadan, atau menggantinya dengan membayar fidyah, bagi mereka yang karena keadaannya mendapatkan kesulitan untuk menjalakan ibadah puasa pada waktunya.

“ (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui ” (QS Al Baqarah 184).

Diabetes merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa didalam darah yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Sebagian besar penyandang diabetes yang beragama Islam yang secara medis dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius bila berpuasa, tetap lebih memilih untuk menjalankan ibadah puasa ramadan dengan berbagai alasan. Data dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyandang diabetes yang beragama Islam (80-95%) tetap memilih untuk berpuasa ramadan dengan mengabaikan saran dari dokter yang merawatnya. Untuk individu dengan diabetes, puasa ramadan sedikit banyak menyebabkan perubahan metabolik dengan beberapa kemungkinan yang sebaiknya diantisipasi agar tidak memberikan dampak kurang baik bagi penyandang diabetes.

Puasa ramadhan mempengaruhi beberapa aspek mendasar dari fisiologi tubuh termasuk pola tidur dan ritme sirkadian, keseimbangan cairan dan energi, dan homeostasis glukosa. Kondisi ini menunjukkan perubahan besar dari cara makan normal serta pola tidur dan bangun. Puasa ramadhan berbeda dari bentuk puasa lainnya, karena tidak ada makanan atau minuman yang dikonsumsi selama siang hari dan dilaksanakan selama satu bulan penuh yaitu di bulan ramadhan. Hal ini akan memberikan pengaruh penting terhadap fisiologi, perubahan ritme dan proses homeostasis dan juga sistem endokrin.

Pola tidur akan berubah selama puasa ramadhan. Biasanya umat muslim bangun sebelum fajar untuk sahur. Sebagian besar akan kembali tidur dan bangun untuk kedua kalinya untuk memulai aktivitas. Beberapa muslim yang berpuasa mungkin tidur di siang hari. Setelah makan malam (buka puasa), banyak yang tetap terjaga sampai tengah malam. Dampak ramadhan terhadap tidur meliputi penurunan total waktu tidur, penundaan tidur, penurunan waktu periode tidur, penurunanan durasi tidur rapid eye movement (REM), penurunan proporsi tidur REM, peningkatan proporsi tidur non-REM dan peningkatan latensi tidur. Selama ramadhan total waktu tidur dapat berkurang sekitar 1 jam. Kurang tidur dikaitkan dengan penurunan toleransi glukosa dan hubungan antara durasi tidur dengan resistensi insulin. Durasi tidur yang pendek juga secara berhubungan dengan penambahan berat badan, terutama individu yang lebih muda. Perubahan dan pergeseran waktu makan rutin serta pola tidur dan bangun selama ramadhan dapat pula mempengaruhi pola sirkadian tubuh dengan konsekuensi perubahan kardiometabolik. Banyak ritme hormon berubah selama puasa ramadhan, termasuk kadar serum leptin, ghrelin, kortisol dan melatonin.

Pembatasan asupan cairan antara saat fajar sampai matahari terbenam dapat memberikan konsekuensi penting terutama pada individu dengan diabetes yang tidak terkontrol dengan baik. Pada individu sehat kehilangan cairan dan elektrolit selama berpuasa dapat diatasi. Namun, dehidrasi mungkin menjadi masalah di daerah beriklim panas atau pada individu yang melakukan pekerjaan fisik intensif serta kondisi diuresis osmotik akibat hiperglikemia. Dehidrasi juga dapat menyebabkan hipotensi dan selanjutnya berisiko untuk jatuh atau cedera lainnya.

Puasa ramadhan mempengaruhi pola makan dan akti!tas yang kemudian menyebabkan perubahan pengeluaran energi. Sebuah studi menunjukkan bahwa perubahan pola makan selama puasa ramadhan dimana tidak ada makan siang dan jeda yang panjang diantara 2 makan utama menyebabkan nafsu makan dan rasa lapar yang meningkat pada siang hari dan mencapai puncaknya pada saat berbuka puasa. Hal ini berpotensi menyebabkan asupan makanan yang berlebihan saat berbuka puasa. Pola peningkatan rasa lapar selama puasa ramadhan akan mengalami adaptasi dan menurun menjelang akhir ramadhan. Berdasarkan laporan beberapa penelitian, efek ramadhan terhadap berat badan bervariasi. Pada beberapa individu, kelebihan energi selama puasa ramadhan dapat menyebabkan kenaikan berat badan.

Puasa ramadhan dikaitkan dengan perubahan pola tidur, pola aktivitas, pola makan, dan berat badan yang menyebabkan komponen pengeluaran energi juga berubah selama ramadhan. Studi lessan dkk menunjukkan perbedaan pola aktivitas selama ramadhan dimana jumlah langkah menjadi lebih sedikit, dan aktivitas siang hari berkurang namun meningkat di malam hari. Pengurangan pengeluaran energi aktivitas ini diimbangi dengan pengurangan waktu tidur selama bulan ramadhan. Studi epidemiologi yang melibatkan 12.243 penyandang diabetes di 13 negara Islam yang menjalankan ibadah puasa ramadhan menunjukkan tingginya angka komplikasi akut.

Beberapa komplikasi akut yang dapat terjadi seperti;

  1. Hipoglikemia; asupan makanan yang kurang diketahui merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipoglikemia. Hasil sudi EPIDIAR menunjukkan bahwa puasa Ramadan dapat meningkatkan risiko hipoglikemia berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit. Hipoglikemia di bulan Ramadan meningkat 4,7 kali lipat pada penyandang diabetes tipe 1 (3-14 kejadian/100 individu/1 bulan) dan 7,5 kali lipat (0,4-3 kejadian/100 individu/1 bulan) pada penyandang diabetes tipe 2.
  2. Hiperglikemia; studi EPIDIAR pada diabetes tipe 2, menunjukkan bahwa pada bulan ramadhan, angka kejadian hiperglikemia berat yang memerlukan perawatan inap di rumah sakit meningkat 5 kali lipat (1-5 kejadian/100 penyandang/1 bulan). Dan pada penyandang DM tipe 1 (hiperglikemia berat dengan atau tanpa ketoasidosis) meningkat 3 kali lipat (5-17 kejadian/100 penyandang/1 bulan). Hiperglikemia dapat disebabkan oleh pengurangan dosis obat secara berlebihan untuk menghindari hipoglikemia serta konsumsi berlebihan makanan dan gula saat berbuka puasa.
  1. Dehidrasi; pembatasan asupan cairan (minum) bila berlangsung lama, dapat menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi dapat menjadi lebih berat di wilayah dengan iklim/suhu udara panas dan kelembaban tinggi dan pada individu yang melakukan kerja fisik yang berat. Selain itu, hiperglikemia dapat menyebabkan diuresis osmotik dan memperberat kondisi kekurangan cairan dan elektrolit.

Pedoman dari International Diabetes Federation – Diabetes and Ramadan Alliance (IDF-DAR) tahun 2021 membagi stratifikasi risiko berpuasa ramadhan pada penyandang diabetes menjadi 3 tingkatan kategori, yaitu:

  • Risiko tinggi, dimana ada kemungkinan berpuasa menjadi tidak aman
  • Risiko sedang, dimana ada kemungkinan berpuasa menjadi kurang aman
  • Risiko rendah, dimana ada kemungkinan berpuasa aman

Sistem penilaian ini dirancang dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dianggap mempengaruhi puasa. Untuk individu tertentu, setiap elemen risiko harus dinilai dan dihitung skornya. Skor yang didapatkan akan menentukan tingkat risiko keseluruhan bagi individu yang ingin berpuasa selama ramadhan. Pengalaman berpuasa Ramadan seseorang dapat bervariasi setiap tahun, karena itu stratifikasi risiko perlu diperbarui setiap tahunnya supaya dapat menjalani puasa dengan aman. Bagaimana cara menentukan stratafikasi penderita diabetes pada saat berpuasa yaitu dengan konsultasi ke dokter. Dokter akan menentukan stratafikasi individu dengan diabetes.

Individu yang termasuk dalam kategori risiko tinggi sebaiknya tidak boleh berpuasa. Individu ini berisiko tinggi hingga sangat tinggi mengalami komplikasi selama berpuasa ramadhan. Pada kategori ini individu sebaiknya tidak boleh berpuasa. Jika bersikeras untuk berpuasa, maka perhatian dan pemantauan perlu diberikan bersamaan dengan strategi dan rekomendasi sesuai oleh dokter.

Individu pada tingkat risiko sedang disarankan untuk tidak berpuasa Seperti juga pada individu yang berisiko tinggi, banyak penyandang pada kategori ini akan tetap memilih untuk berpuasa. Keputusan pribadi ini harus dibuat setelah mempertimbangkan risiko yang ada dan berkonsultasi dengan Dokter. Individu pada kategori ini perlu mengetahui teknik atau strategi untuk mengurangi risiko saat berpuasa. Jika individu ini memilih untuk berpuasa, maka perlu berhati-hati dan menghentikan puasa jika ada masalah yang timbul.

Individu pada tingkat risiko rendah dapat berpuasa. Pada individu di kategori ini memiliki risiko lebih rendah dalam hal komplikasi yang timbul saat berpuasa selama ramadhan. Namun, keadaan ini dapat berubah yang mengarah pada perubahan dalam penilaian risiko. Oleh karena itu, stratifikasi risiko perlu dilakukan setiap tahun untuk meninjau kembali tingkat risiko menjelang ramadhan.

*Penulis adalah dosen Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat.

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *