KEMUNDURAN PERGURUAN TINGGI SWASTA: ALARM BAGI DUNIA PENDIDIKAN TINGGI

Oleh: Hasrudin Usman, S.Pi.,M.Si.*
Ditengah gempuran revolusi industri 4.0 dan masifnya digitalisasi, ironisnya sejumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia justru mengalami kemunduran. Fenomena ini bukan sekedar masalah administratif, tetapi cerminan krisis struktural dalam dunia pendidikan tinggi. Banyak PTS kehilangan relevansinya, baik dimata calon mahasiswa, dunia industri, bahkan masyarakat umum.
Kemunduran PTS bisa terlihat dari berbagai indikator: menurunnya jumlah pendaftar, penurunan akreditasi, stagnasi kurikulum, hingga kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa sekitar 30% dari lebih 4.500 perguruan tinggi di Indonesia mengalami stagnasi atau tidak aktif dalam kurun lima tahun terakhir (Kemendikbudristek, 2022). Mayoritas dari angka tersebut berasal dari perguruan tinggi swasta.
Krisis ini sebagian besar berakar pada manajemen internal yang lemah. Banyak PTS dijalankan lebih sebagai entitas bisnis ketimbang institusi akademik. Alih-alih berinvestasi pada dosen berkualitas, fasilitas riset, atau pengembangan kurikulum, sebagian yayasan justru lebih sibuk memperbesar margin keuntungan. Tak jarang pula praktik nepotisme dan tata kelola yang tidak transparan menjadi racun dalam sistem internal.
Tak hanya itu, PTS juga gagal membaca arah zaman. Di era digital seperti sekarang, keterampilan berbasis teknologi, komunikasi, dan kewirausahaan menjadi mutlak. Namun banyak kampus masih terpaku pada model pembelajaran konvensional yang tak relevan lagi. Akibatnya, lulusan tak punya daya saing. Studi dari World Economic Forum (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 50% pekerjaan di masa depan memerlukan keterampilan baru yang tidak banyak diajarkan diruang-ruang kelas tradisional.
Namun, menyalahkan sepenuhnya pada PTS juga tidak adil. Pemerintah pun berkontribusi dalam menciptakan sistem pendidikan tinggi yang timpang. Kebijakan yang terlalu terpusat, kurangnya pendampingan terhadap PTS kecil, serta distribusi dana hibah riset yang tak merata memperlebar kesenjangan antara PTS dan perguruan tinggi negeri (PTN).
Lalu, apa solusinya?
Pertama, PTS harus berbenah secara internal. Transparansi, profesionalisme, dan keberpihakan terhadap mutu harus dijadikan prinsip utama dalam pengelolaan institusi. Rektor dan pimpinan kampus harus dipilih berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan emosional dengan yayasan.
Kedua, kurikulum harus didesain ulang, agar adaptif terhadap perubahan zaman. Kemitraan dengan dunia industri, program magang, dan pembelajaran berbasis proyek nyata adalah keharusan, bukan sekedar tambahan.
Ketiga, pemerintah perlu memperkuat regulasi dan insentif bagi PTS yang memiliki komitmen kuat terhadap mutu. Pendampingan dan pengawasan yang konstruktif jauh lebih berguna daripada pembiaran yang akhirnya mempercepat keruntuhan.
Pendidikan tinggi bukan sekedar menara gading. Ia adalah jembatan menuju kemajuan bangsa. Maka jika perguruan tinggi swasta dibiarkan merosot tanpa intervensi, maka sesungguhnya kita tengah menggadaikan masa depan generasi muda dan merusak ekosistem pendidikan kita sendiri.
Penulis adalah; Dosen Yayasan Universitas Alkhairaat di Fakultas Perikanan*