Dokter dan Tantangan Berat Masa Depan

Dokter dan Tantangan Berat Masa Depan

Oleh: dr. Magfirah Al Amri, MARS.*

Dulu, menjadi dokter adalah lambang prestise dan jaminan masa depan. Namun hari ini, realitasnya jauh dari bayangan. Profesi dokter kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan berlapis, dari hulu ke hilir. Meningkatnya jumlah sekolah kedokteran yang sejalan dengan semakin banyaknya  lulusan dokter, bukannya menjadi solusi, malah semakin jelas memperlihatkan ketimpangan dalam distribusi hingga ketimpangan dalam hal pendapatan dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia. Seluruhnya melengkapi deretan persoalan Kesehatan di Indonesia yang makin hari makin kompleks.

Menjamurnya Sekolah Kedokteran 

Dalam satu dekade terakhir, jumlah fakultas kedokteran di Indonesia tumbuh pesat. Sekilas ini tampak sebagai kemajuan, apalagi  seolah negara sedang memperluas akses terhadap pendidikan kesehatan. Namun, pertumbuhan kuantitas ini nyatanya tidak menjadi penyelesaian masalah. Malah dalam beberapa sudut pandang, menjadi suatu beban baru di masyarakat, mengapa demikian?

Meskipun belum ada data pasti mengenai angka pengangguran dokter di Indonesia, namun dalam beberapa rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi profesi, disinyalir bahwa produksi dokter umum per tahun sekitar 10.000 orang, sedangkan kebutuhan pasar tidak mengalami lonjakan serapan yang sepadan. Estimasi muncul bahwa 5.000–8.000 dokter per tahun berpotensi tidak terserap, serupa dengan laporan tahun 2017 yang menyebut 8.000 dokter menganggur per tahun akibat kesenjangan produksi dan serapan.

Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah peningkatan jumlah lulusan sejalan dengan peningkatan kemampuan layanan medis nasional? Data menunjukkan, banyak lulusan dokter yang menganggur, bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena minimnya lapangan kerja dan regulasi penempatan yang tidak adaptif.

Distribusi yang Tak Merata

Masalah klasik yang tak kunjung tuntas adalah distribusi dokter yang tidak merata. Di kota-kota besar, dokter menumpuk; sementara di daerah terpencil, puskesmas sering kali hanya punya satu dokter umum, atau bahkan tidak ada sama sekali. Pemerataan tenaga medis seolah menjadi utopia, meski berbagai program seperti  Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Nusantara Sehat sudah lama digulirkan.

Faktor kenyamanan, akses teknologi,akses jalan, jaminan keamanan, pendidikan anak,  menjadi pertimbangan wajar bagi para dokter enggan ditempatkan di pelosok. Belum lagi masalah klasik seperti insentif yang disiapkan oleh pemerintah daerah, bahkan ketepatan/kepastian waktu pembayaran jasa/imbalan yang seringkali jadi cerita miris di beberapa daerah. Dengan seluruh permasalahan ini, negara tak cukup hadir untuk membuat pilihan itu menjadi rasional dan layak. Kebijakan yang dibuat terus bergulir tapi minim partisipasi public, bahkan partisipasi organisasi profesi pun dipandang sebelah mata.

Upah yang tak layak: Dokter dibayar dibawah UMR

Ironis, ketika profesi yang menyangkut nyawa manusia justru dibayar jauh dari layak. Banyak dokter, terutama yang masih berstatus kontrak atau honorer, hanya menerima gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Padahal, pendidikan dokter memakan waktu panjang dan biaya yang tidak sedikit. Banyak dokter yang menempuh pendidikan dengan upaya yang tidak biasa dari orang tua, cerita seperti orang tua menjual sawah, menjual rumah, dan asset berharga lainnya, demi untuk mendukung anaknya bersekolah dikedokteran, menjadi suatu kisah miris ditengah semua  masalah ini, dan ketika lulus, justru dihadapkan pada sistem kerja yang tidak mensejahterakan. Ini belum berbicara ekspektasi orang tua tentang pendapatan dokter, kebanyakan masyarakat masih beranggapan bahwa menjadi dokter sejalan dengan penghasilan yang mentereng.

Seorang teman dosen pernah bercerita bertemu dengan orang tua mahasiswa yang mengambil pekerjaan sambilan sebagai ojek online, disamping karirnya sebagai ASN, untuk memastikan kelangsungan pendidikan anaknya dikedokteran, ironis tapi inilah realitas yang kita hadapi.

Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Kita tidak kekurangan calon dokter. Yang kurang adalah sistem yang mampu menjamin keberlanjutan profesi kedokteran secara bermartabat.

Menambah sekolah kedokteran tanpa strategi nasional hanya akan memperbanyak lulusan tanpa arah. Negara perlu hadir melalui kebijakan jangka panjang: menyusun peta kebutuhan tenaga kesehatan, memperbaiki sistem rekrutmen dan penempatan, serta memberikan penghargaan yang layak kepada para dokter yang telah memilih jalan ini.

Masa depan dunia kedokteran bukan hanya soal teknologi atau kurikulum. Tapi tentang keberanian memastikan keberlangsungan hidup para tokoh pejuangnya para dokter dan tenaga kesehatan agar tetap bertahan di tengah badai tantangan yang semakin berat.

Penulis adalah: Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat/ Direktur RSU Sis Aldjufrie.

 

 

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *