Ecoenzym: Titik Cerah di Tengah Masalah Sampah Indonesia

Oleh: dr. Maqfirah Al Amri, MARS.*
Sampah masih menjadi persoalan kompleks yang belum terselesaikan di Indonesia. Setiap harinya, ribuan ton sampah dihasilkan dari rumah tangga, industri, hingga aktivitas komersial, ini bukan soal jumlah saja, ini tentang lemahnya sistem pengelolaan sampah di Indonesia.
Di banyak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di berbagai daerah, sampah yang datang dari rumah-rumah warga tercampur begitu saja. Tidak ada sistem pemilahan yang diterapkan secara konsisten di tingkat TPA, sehingga upaya masyarakat yang telah memilah sampah dari rumah kerap kali berakhir sia-sia. Hal ini menimbulkan kebingungan dan kontra-produktif terhadap gerakan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. Ketika hasil pemilahan itu akhirnya dibuang ke tempat yang sama, banyak warga merasa tidak ada gunanya memilah sampah dari awal.
Padahal, jika dikelola dengan baik, pemisahan sampah terutama yang organik bisa menjadi salah satu kunci untuk mengurangi beban TPA. Dan di sinilah ecoenzym hadir sebagai titik cerah.
Apa Itu Ecoenzym?
Ecoenzym adalah cairan hasil fermentasi limbah dapur organik seperti kulit buah dan sayur, yang dicampur dengan gula (baik gula merah, gula pasir, atau molase) dan air, kemudian difermentasi selama kurang lebih tiga bulan. Proses alami ini menghasilkan cairan berwarna cokelat gelap yang memiliki banyak manfaat, mulai dari pembersih rumah tangga ramah lingkungan hingga pupuk cair dan pengusir hama alami.
Lebih dari sekadar produk rumah tangga, ecoenzym juga merupakan bentuk nyata dari upaya daur ulang limbah organik secara mandiri. Dalam konteks pengelolaan sampah, ecoenzym bisa menjadi langkah kecil namun signifikan yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengurangi jumlah sampah organik yang dibuang ke TPA.
Mengapa Ecoenzym Belum Populer?
Meski potensial, pemanfaatan ecoenzym belum tersebar luas. Banyak masyarakat yang belum mengenal atau memahami cara membuat dan menggunakan ecoenzym. Sosialisasi mengenai manfaat dan proses pembuatannya pun masih terbatas pada komunitas tertentu atau gerakan peduli lingkungan. Bagi sebagian orang, fermentasi selama tiga bulan terasa terlalu lama. Ada pula anggapan bahwa membuat ecoenzym itu rumit, padahal kenyataannya cukup sederhana dan bisa dilakukan didapur rumah sendiri.
Di sisi lain, minimnya dukungan dari pemerintah daerah maupun sistem pengelolaan sampah nasional membuat inisiatif seperti ecoenzym berjalan sendiri tanpa sinergi yang memadai. Padahal jika digerakkan secara masif, terutama di lingkungan pendidikan dan perumahan, ecoenzym bisa menjadi gerakan kolektif yang berdampak nyata.
Penting untuk disadari bahwa ecoenzym bukanlah solusi utama bagi permasalahan besar pengelolaan sampah di Indonesia, ecoenzym bukan hadir untuk menggantikan pentingnya sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi, ataupun kebutuhan akan infrastruktur daur ulang yang memadai. Namun, sebagai solusi parsial, yang murah dan mudah di lakukan, mulai dari lingkungan terkecil-rumah tangga. Hadirnya Ecoenzym berperan penting dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya tanggung jawab terhadap sampah organik dirumah mereka sendiri.
Ecoenzym menunjukkan bahwa sampah dapur bukanlah limbah yang harus dibuang begitu saja, melainkan bisa diolah menjadi sesuatu yang berguna. Ini adalah bentuk sederhana dari ekonomi sirkular yang bisa diterapkan di rumah, dan pada akhirnya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mengelola sampah dari sumbernya.
Akhirnya, ditengah tumpukan permasalahan sampah yang belum tertangani dengan baik, ecoenzym menjadi titik cerah yang menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil. Edukasi, keterlibatan komunitas, dan kemauan untuk mencoba adalah kunci untuk memperluas dampak gerakan ini.
Meskipun tidak menyelesaikan seluruh persoalan sampah di Indonesia, ecoenzym memberikan pelajaran penting, bahwa setiap individu punya peran dalam menjaga lingkungan, mulai dari rumah sendiri.
Penulis adalah: Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat/ Direktur RSU SIS Aldjufri*