Komitmen Aktor dalam Kebijakan Pendidikan Pemilih Berkelanjutan

Oleh : Dr.Idrus, SP.,M.Si.*
Aktor selalu dikaitkan dengan peran, sehingga banyak konsep yang menjelaskan aktor tertentu akan memainkan peran tertentu. Misalnya, dalam relasi kuasa, aktor digambarkan sebagai individu atau kelompok yang memiliki jaringan kekuasaan, serta memiliki suatu kepentingan tertentu (Krott, 2005). Contoh lainnya dalam implementasi kebijakan, Thompson (dalam Kadir, 2014) menggambarkan bahwa aktor memiliki power dan interest, yang mana setiap aktor akan memiliki peran yang berbeda sesuai tingkatannya.
Bahwa dalam proses evaluasi kebijakan, misalnya kebijakan program pendidikan pemilih pada pemilihan kepala daerah terdapat salah satu aspek penting dalam keberhasilan ataupun kegagalan yaitu komitmen aktor. Komitmen dimaknai keinginan kuat untuk mencapai tujuan, sedangkan komitmen aktor dimaknai individu atau kelompok yang memiliki keinginan kuat untuk mencapi tujuan dari program yang diputuskan dan dikeluarkan sebuah Institusi. Komitmen aktor menjadi aspek yang sangat penting mengingat suksesnya pelaksanaan kebijakan yang menitikberatkan pada proses dan dampak yang dihasilkan. Beberapa pendapat ahli mengatakan bahwa kebijakan mempunyai beberapa implikasi, diantaranya kebijakan tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata, serta Kebijakan ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.
Pelaksanaan kebijakan perlu didukung dengan komitmen aktor, aktor pelaksana memiliki peran untuk melaksanakan suatu kebijakan serta aktor penerima yakni masyarakat akan merasakan dampak yang dihasilkan dari kebijakan itu. Kebijakan pendidikan pemilih pada pemilihan kepala daerah yang diputuskan melalui surat Keputusan komisi pemilihan umum kabupaten kota secara normatif dimaknai proses edukasi dari aktor-aktor yang terlibat (penyelenggara pemilu, pasangan calon, partai politik) kepada aktor penerima (masyarakat pemilih) dengan berbagai macam kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran pemilih untuk dapat berpartisipasi pada tahapan pemilihan kepala daerah seperti memberikan masukan, dan pandangan serta terlibat aktif untuk memberikan kritik dan pandangan disaat sebelum, saat dan pasca program dilaksanakan. Mulai dari penyusunan program dan kegiatan, pembentukan badan adhoc panitia pemilihan kecamatan, panitia pemungutan suara, kelompok penyelenggara pemungutan suara, serta pembentukan petugas non badan adhoc seperti petugas pemutakhiran data pemilih. Penyusunan data pemilih sampai penetapan daftar pemilih tetap, tahapan pencalonan peserta pilkada, penetapan nomor urut pasangan calon, kampanye, debat terbuka, tata kelola logistik, sampai aktif untuk datang memilih di tempat pemungutan suara, juga aktif dalam aktifitas pemantau dan pengawas yang mandiri.
Pemilihan kepala daerah perlu diketahui juga bahwa posisi netral penyelenggara adalah menjembatani kepentingan pasangan calon agar dipilih oleh sebanyak-banyaknya pemilih, serta kepentingan pemilih dengan menariknya pasangan calon yang dapat mewakili kepentingan pemilih, serta pemilih merasakan secara berdaulat bebas dan merdeka nyaman untuk memilih, penciptaan tempat nyaman dan berdaulat tersebut adalah di bilik suara yang terdapat didalam tempat pemungutan suara (TPS)
Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota beserta jajarannya di daerah, mitra kerja lainnya, peserta pilkada dari pasangan calon, partai politik sebagai pintu masuk untuk mengusulkan pasangan calon, serta masyarakat yang memiliki peran penting dalam mengusulkan pasangan calon dari unsur non partai politik. Masyarakat yang kategori pemilih juga aktor yang sangat dinantikan untuk menentukan angka partisipasi pemilih yang tinggi jika beramai-ramai mau datang ke TPS. Pihak-pihak yang tersebut diatas merupakan aktor yang memiliki kekuatan dan kepentingan, yang mana setiap aktor akan memiliki peran yang berbeda-beda sesuai tingkat kekuatan dan kepentingan mereka (Thompson dalam Kadir 2014). Peran-peran yang dimainkan oleh aktor yang terlibat ini secara nyata memiliki tujuan agar sebanyak-banyaknya masyarakat terlibat baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tergeraknya pemilih datang ke tempat pemungutan suara.
Diskusi tentang angka-angka partisipasi pemilih disetiap daerah yang hasilnya yang berbeda-beda, ada yang melebihi target nasional dan yang tidak mencapai target, memang diskusi itu harus dibatasi pada angka kuantitatif persentase angka. Mengapa angka kuantitatif agar dapat terukur, walaupun kita sadari juga penting melihat sebab-sebab angka-angka partisipasi itu tercapai dan tidak tercapai agar dapat di evaluasi. Posisi komitmen actor inilah kemudian yang perlu dipertemukan kepentingannya serta di atur standar operasional prosedurnya untuk setiap aktor tersebut, agar memiliki peta jalan untuk saling memperkuat mencapai tujuan yaitu kesadaran pemilih datang memilih di pilkada terus meningkat, usaha itu perlu digagas kedepannya dengan model berkelanjutan, model yang tidak kaku dan terjebak dalam batasan waktu dan siklus yang prosedural tetapi lebih fleksibel dari sisi waktu, materi serta teknis penyajiannya.
Penulis adalah: Ketua KPU Kota Palu*