Literasi Statistik: Dimana Kita Berada?

Oleh: Nurhalida Sartika, S.Pd.,M.Pd.*
Dalam pengambilan kebijakan, data menjadi bagian penting dalam hampir semua bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Di ruang kelas, laboratorium, hingga ruang kebijakan, penggunaan data seharusnya menjadi pondasi dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pendidikan. Kemampuan membaca dan memahami data bukan lagi keahlian tambahan, melainkan kebutuhan mendasar bagi guru, dosen, kepala sekolah, dan pembuat kebijakan. Di sinilah pentingnya literasi statistik: sebagai keterampilan untuk menjembatani angka dengan makna, serta mengubah informasi menjadi keputusan yang berdampak.
Namun, seiring meningkatnya tuntutan terhadap penggunaan data dalam pendidikan, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana insan pendidikan saat ini telah memiliki literasi statistik yang memadai? Di mana kita sebenarnya berada dalam hal memahami dan memanfaatkan data untuk perbaikan mutu pendidikan?
Pentingnya Literasi Statistik dalam Dunia Pendidikan
Literasi statistik bukan sekadar kemampuan menghitung rata-rata atau membuat diagram. Lebih dari itu, ia mencakup kemampuan membaca, memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi berbasis data untuk mengambil keputusan yang bijak dan tepat. Di lingkungan pendidikan, kompetensi ini seharusnya menjadi milik setiap guru, dosen, kepala sekolah, hingga pengambil kebijakan.
Bagi guru, pemahaman tentang statistik dapat membantu melakukan analisis nilai, serta mengidentifikasi kesalahan siswa. Bagi kepala sekolah, penggunaan statistika sangatlah krusial untuk pengambilan keputusan berbasis data (data-driven decision making) yang efektif, meningkatkan kualitas pendidikan, dan efisiensi manajemen sekolah secara keseluruhan Demikian pula, dosen dapat menggunakan data hasil penelitian tentang pembelajaran sebagai dasar untuk memperbaiki metode atau konten pengajaran. Dalam skala yang lebih luas, kebijakan pendidikan berbasis bukti (evidence-based policy) sangat membutuhkan dukungan dari literasi statistik yang memadai.
Potret Literasi Statistik Saat Ini
Sayangnya, dalam banyak kasus, data pendidikan masih dipandang sebagai beban administratif, bukan sumber pengetahuan. Banyak guru atau dosen mengisi data karena kewajiban, bukan karena menyadari nilai informatifnya. Akibatnya, data tidak diolah atau dianalisis secara bermakna. Bahkan ketika tersedia data yang lengkap, pengambilan keputusan masih sering bergantung pada intuisi atau pengalaman subjektif semata.
Mahasiswa atau calon guru pun sering kali memandang statistik sebagai mata kuliah yang sulit dan tidak relevan dengan praktik mengajar. Mereka lebih fokus pada menghafal rumus dan menyelesaikan soal prosedural daripada memahami makna dibalik data. Ketika kelak menjadi guru, pola pikir ini terbawa: data nilai siswa dilihat sebagai angka semata, bukan cermin dari proses belajar yang kompleks.
Mengapa Literasi Statistik Masih Rendah?
Ada beberapa alasan mengapa literasi statistik di dunia pendidikan masih rendah. Pertama, pendekatan pengajaran statistik yang masih bersifat teknis dan terpisah dari konteks nyata. Statistik diajarkan sebagai matematika murni, bukan sebagai alat analisis untuk memahami dunia nyata, termasuk dunia pendidikan. Kedua, kurangnya pelatihan terapan bagi para guru dan dosen untuk memanfaatkan data pembelajaran. Ketiga, budaya pengambilan keputusan di sekolah atau kampus belum sepenuhnya berbasis data. Keputusan kurikulum, pengembangan pembelajaran, atau intervensi siswa masih banyak yang dilakukan tanpa dasar statistik yang memadai.
Menuju Budaya Statistik dalam Pendidikan
Sudah saatnya dunia pendidikan membangun budaya statistik. Pertama-tama, pengajaran statistik perlu didesain ulang agar lebih kontekstual, aplikatif, dan berbasis proyek. Mahasiswa calon guru, misalnya, bisa dilatih untuk mengumpulkan dan menganalisis data sederhana dari praktik mengajar mereka, seperti hasil pre test–post test atau umpan balik siswa.
Kedua, lembaga pendidikan perlu menyediakan pelatihan literasi data secara berkala bagi para pendidik. Ini penting agar guru dan dosen mampu membaca laporan statistik, menggunakan perangkat lunak analisis data dasar, dan menafsirkan hasilnya untuk perbaikan pembelajaran. Ketiga, evaluasi program pendidikan, baik di tingkat kelas maupun institusi, harus mengedepankan pendekatan berbasis bukti. Artinya, setiap keputusan yang diambil berlandaskan pada data yang valid dan analisis yang akurat.
Penutup
Kita hidup di zaman yang tak pernah kekurangan data, tetapi kekurangan pemaknaan terhadap data. Literasi statistik bukan hanya soal angka dan grafik, melainkan kemampuan membaca realitas, memahami kecenderungan, dan mengambil keputusan berdasarkan bukti. Dunia pendidikan tak boleh lagi menunda tumbuhnya budaya statistik. Sebab, masa depan pembelajaran yang adil, inklusif, dan berbasis kualitas hanya bisa dibangun di atas fondasi data yang dipahami dengan baik.
“Literasi statistik adalah jembatan antara angka dan kebijakan, antara data dan tindakan. Di dunia pendidikan, jembatan ini sudah ada—kita hanya perlu berani melintasinya.”
Penulis adalah Dosen Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Alkhairaat.*