Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa Kedokteran: Saatnya Sadar, Peduli dan Berbagi

Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa Kedokteran: Saatnya Sadar, Peduli dan Berbagi

Oleh: Nurul Qanitah Shahabuddin, MHPE*

Kesehatan mental bukan sekadar tentang “tidak stres” atau “tidak gila”. Menurut WHO (2022), kesehatan mental adalah kondisi sejahtera dimana individu mampu menghadapi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya. Di tengah tuntutan akademik, tekanan kompetisi, serta ekspektasi sosial dan pribadi yang tinggi, mahasiswa kedokteran menjadi kelompok berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan mental.

Sayangnya, justru dikalangan tenaga kesehatan masa depan ini, gangguan seperti depresi dan kecemasan sering tersembunyi dibalik senyum dan prestasi akademik. Studi oleh Mahihu (2020) mengungkapkan tingginya prevalensi depresi dan kecemasan di kalangan mahasiswa profesi kesehatan, termasuk mahasiswa kedokteran.

Tanda-Tanda Gangguan Kesehatan Mental: Apakah Kita Sudah Peka?

Gangguan kesehatan mental tidak selalu tampak jelas. Beberapa gejala yang umum terjadi tetapi sering diabaikan antara lain: Gangguan tidur, seperti sulit tidur, tidur terlalu banyak atau tidur tidak nyenyak. Iritabilitas dan kecemasan berlebihan, Menarik diri dari lingkungan sosial dan merasa tidak berdaya, tidak berharga atau putus asa

Mahasiswa kedokteran seringkali merasa harus “tangguh setiap saat” atau khawatir dianggap “lemah” jika mengakui sedang tidak baik-baik saja. Akibatnya, banyak yang memilih diam dan memendam gejala-gejala tersebut hingga memburuk.

Mengukur Kesejahteraan Mental: WHO-5 Well-Being Index

Salah satu cara mudah untuk mengenali kondisi kesehatan mental kita adalah dengan menggunakan WHO-5 Well-Being Index, instrumen skrining sederhana yang menilai kesejahteraan psikologis dalam 2 minggu terakhir.

Setelah menjawab 5 pertanyaan dan mengalikan total skor dengan 4, hasilnya dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Skor Interpretasi
0–28 Kesejahteraan sangat rendah – kemungkinan depresi tinggi
29–50 Kesejahteraan rendah – perlu pemantauan lanjut
51–100 Kesejahteraan baik

Alat ini tidak menggantikan diagnosis profesional, namun bisa menjadi langkah awal untuk lebih mengenali kondisi diri dan menentukan kapan harus mencari bantuan.

Stigma: Musuh Diam-Diam dalam Dunia Pendidikan Kedokteran

Mengapa banyak mahasiswa kedokteran tidak mencari bantuan meski merasa tidak baik? Salah satu jawabannya adalah stigma. Stigma internal maupun eksternal membuat seseorang merasa malu, takut dinilai negatif, atau dianggap “tidak kompeten” hanya karena memiliki masalah kesehatan mental. Dalam dunia kedokteran yang sering menuntut kesempurnaan, ini menjadi beban yang memberatkan. Padahal, seperti kesehatan fisik, kesehatan mental juga perlu dijaga dan dirawat. Menghindari atau menyangkal kondisi ini hanya akan memperburuk keadaan.

Strategi Coping dan Self-Care: Kecil Tapi Berdampak Besar

Merawat kesehatan mental bukan berarti harus langsung ke psikiater atau mengonsumsi obat. Banyak langkah sederhana namun bermakna yang dapat dilakukan sebagai bagian dari strategi coping dan self-care, diantaranya,  Manajemen stres, latihan napas dalam, menulis jurnal, atau olahraga ringan bisa sangat membantu menenangkan pikiran. Rutinitas sehat, menjaga waktu tidur, membatasi penggunaan media sosial, dan makan sehat berkontribusi pada keseimbangan mental. Mencari bantuan sejak dini, bercerita pada teman terpercaya, mentor akademik, atau tenaga profesional bisa membuka jalan pemulihan yang tepat. Ingat: mencari bantuan bukanlah tanda kelemahan, tapi bentuk kepedulian terhadap diri sendiri.

Peran Mahasiswa dalam Mempromosikan Kesehatan Mental

Perubahan dimulai dari lingkungan terdekat. Mahasiswa bukan hanya objek dari sistem pendidikan, tapi juga subjek yang mampu menciptakan budaya organisasi yang lebih suportif. Beberapa hal yang bisa dilakukan di lingkungan kampus, menjadi teman yang peduli, bukan menghakimi, dengarkan, hadir, dan beri dukungan kepada teman yang sedang berjuang. Mendorong organisasi mahasiswa menjadi ruang aman. ciptakan suasana yang terbuka dan empatik terhadap isu kesehatan mental. Inisiasi program kerja pro-kesehatan mental, seperti hari kesehatan mental, peer support system, hingga kampanye anti-stigma.

Kapan Harus Konsultasi ke Psikiater atau Profesional?

Beberapa kondisi yang mengindikasikan perlunya konsultasi lebih lanjut antara lain, gangguan fungsi sehari-hari, tidak mampu kuliah, belajar, atau bersosialisasi seperti biasa. Pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain, gejala yang menetap lebih dari dua minggu dan terus memburuk dan skor WHO-5 di bawah 28 atau menunjukkan kesejahteraan sangat rendah. Langkah ini bukanlah tanda akhir, melainkan awal dari proses penyembuhan dan pemulihan yang sangat mungkin dilakukan.

Generasi Dokter Masa Depan: Yuk, Jadi Teladan yang Peduli!

Saatnya mengubah narasi. Mahasiswa kedokteran bukan hanya pelajar ilmu medis, tapi calon pemimpin layanan kesehatan yang harus sehat secara fisik dan mental. Kita tidak bisa merawat orang lain dengan optimal jika diri sendiri sedang runtuh. Mari jadikan prinsip “Aware, Care, and Share” sebagai budaya baru dalam dunia pendidikan kedokteran: Aware: Sadar bahwa kesehatan mental itu penting. Care: Peduli pada diri sendiri dan orang lain dan Share: Berani berbagi cerita dan membuka ruang diskusi.

Jangan Menunda untuk Peduli

Kita sering sibuk merawat orang lain, tapi lupa bahwa diri sendiri juga butuh dirawat. Jangan tunggu sampai terlambat. Kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan secara utuh. Jika kamu merasa ada yang tidak beres, jangan ragu untuk mencari bantuan. Mari menjadi generasi dokter yang tidak hanya cerdas dan kompeten, tapi juga peduli dan manusiawi.

*Penulis adalah: Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat.

 

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *