PDA pada Kehamilan: Risiko Kecil, Kewaspadaan Besar

Oleh : dr. Julia Sari, Sp.JP
Patent Ductus Arteriosus (PDA) mungkin terdengar sebagai istilah teknis yang asing di telinga masyarakat awam. Namun, bagi dunia medis, ini adalah salah satu bentuk kelainan jantung bawaan yang tidak bisa diabaikan. Meskipun kasusnya relatif jarang ditemukan pada usia dewasa, PDA dapat menjadi faktor yang memengaruhi kualitas hidup seseorang, terlebih lagi jika pasien tersebut sedang mengandung. Kasus wanita berusia 29 tahun dengan PDA kecil yang sedang hamil anak kedua ini menjadi cermin betapa pentingnya deteksi, evaluasi, dan manajemen yang tepat.
Dalam konteks kehamilan, perubahan fisiologis tubuh perempuan memang luar biasa. Volume darah meningkat, jantung bekerja lebih keras, dan beban pada ventrikel kiri bertambah. Pada kondisi normal, tubuh wanita hamil dapat mengatasi perubahan ini dengan baik. Namun, pada pasien dengan kelainan jantung, termasuk PDA, perubahan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Risiko gagal jantung meningkat bila ukuran PDA sedang hingga besar, apalagi jika disertai hipertensi pulmonal.
Tampilan parasternal short axis tampak shunt dari aorta descenden menuju arteri pulmonalis
Tidak semua kelainan jantung berarti vonis berat bagi ibu hamil. Salah satunya adalah Patent Ductus Arteriosus (PDA) kecil—sebuah kelainan bawaan di mana ada saluran yang seharusnya menutup setelah lahir, tapi tetap terbuka. Kasus seorang ibu berusia 29 tahun dengan PDA kecil ini memberi pelajaran berharga: risiko rendah bukan berarti bebas dari pengawasan.
Selama hamil, tubuh perempuan bekerja ekstra. Jantung memompa darah lebih banyak, beban kerja meningkat, dan semua organ beradaptasi. Pada PDA besar, kondisi ini bisa memicu gagal jantung atau sesak berat. Namun, untuk PDA kecil seperti pada kasus ini, pemeriksaan menunjukkan fungsi jantung normal dan tekanan paru aman. Artinya, risiko komplikasi selama hamil tergolong minimal.
Kuncinya ada pada pemeriksaan ekokardiografi. Alat ini memindai jantung secara detail tanpa tindakan invasif, sehingga aman untuk ibu dan bayi. Dari sini, dokter bisa menilai apakah perlu pengobatan atau cukup pemantauan. Dalam kasus ini, terapi khusus tidak diperlukan.
Meski begitu, saya berpendapat bahwa pemantauan tetap penting. Kehamilan adalah proses yang dinamis, dan kondisi jantung bisa berubah seiring waktu. Tidak cukup hanya memeriksa sekali lalu merasa aman. Kontrol rutin adalah bentuk antisipasi.
Mengenai pencegahan infeksi jantung saat persalinan, panduan medis terbaru memang tidak menganjurkan antibiotik untuk pasien dengan risiko rendah seperti ini. Namun, setiap persalinan punya tantangan sendiri, sehingga keputusan sebaiknya tetap disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien.
Setelah persalinan, pasien ini dijadwalkan untuk kateterisasi jantung. Tujuannya memastikan diagnosis sekaligus memutuskan apakah saluran PDA perlu ditutup. Tindakan ini lebih aman dilakukan setelah bayi lahir untuk menghindari risiko radiasi pada janin.
Kasus ini membuktikan bahwa PDA kecil pada kehamilan bukanlah hal yang menakutkan jika terdeteksi dini dan dikelola dengan tepat. Yang terpenting adalah kerjasama antara pasien, dokter kandungan, dan dokter jantung. Edukasi, kontrol teratur, dan rencana persalinan yang matang adalah kunci keamanan ibu dan bayi.
Pesannya sederhana: jangan remehkan kelainan jantung, sekecil apapun. Dengan pemeriksaan yang tepat dan pengawasan yang konsisten, kehamilan tetap bisa berjalan lancar dan aman.
Penulis : Dosen Fakultas Kedokteran Unisa Palu