Tingginya Biaya Pendidikan Dokter dan Matinya Impian Menjadi Dokter

Tingginya Biaya Pendidikan Dokter dan Matinya Impian Menjadi Dokter

Oleh: dr.Maqfirah Al Amri, MARS*

Setiap tahun, ribuan siswa SMA dengan nilai akademik cemerlang berlomba mengejar satu impian besar, menjadi dokter. Profesi ini bukan hanya bergengsi, tapi juga menawarkan peluang nyata untuk mengabdi pada masyarakat. Namun, semakin ke sini, impian itu kerap berbenturan dengan kenyataan yang pahit, biaya pendidikan kedokteran di Indonesia sangat mahal, bahkan untuk ukuran kampus negeri. Mimpi menjadi dokter, pada akhirnya, menjadi hak istimewa bagi yang punya modal, bukan yang cerdas tak bermodal.

Diantara barisan calon mahasiswa yang lolos seleksi nasional, banyak yang akhirnya menyerah bukan karena nilai tak cukup, tapi karena biaya yang tidak cukup. Ini bukan cerita baru, tapi seakan tidak pernah benar-benar menjadi perhatian utama pemerintah. Sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri memang memberi jalurm jopa bagi siswa berprestasi, tapi jika mereka tidak lolos dan hanya mendapat kesempatan lewat jalur mandiri, tembok biaya tinggi segera berdiri dihadapan mereka. Tak lulus bukan selalu identik dengan tak mampu, tak lulus karena kesempatan yang ada begitu sedikit, ditengah begitu banyak yang mumpuni dan layak.

Beberapa universitas menetapkan biaya pangkal, Iuran Pengembangan Institusi (SPI), hingga ratusan juta rupiah. Salah satu universitas negeri, SPI untuk jalur mandiri kedokteran bisa mencapai Rp. 250 juta. Yang lain mematok antara Rp. 200 hingga Rp. 300 juta. Ini belum termasuk UKT yang berkisar antara Rp. 15 juta sampai Rp. 25 juta per semester. Jumlah yang bahkan untuk keluarga kelas menengah pun terasa sangat berat, apalagi bagi mereka dari kalangan kurang mampu.

Disisi lain, orang tua masih banyak yang beranggapan bahwa menjadi dokter adalah suatu profesi yang prestisius, tak jarang memaksa anaknya untuk berkuliah di kedokteran, meski dengan segala macam cara.

Pemahaman tentang masa kuliah yang panjang, penghasilan dokter muda yang dibawah UMR, dan beratnya beban kerja yang ditanggung, seringkali luput dari pertimbangan. Dan pemerintah belum benar benar mencari solusi soal ini.

Mahasiswa kedokteran juga tidak langsung bisa bekerja setelah lulus S1. Mereka harus menjalani pendidikan profesi (koas) selama 1,5 hingga 2 tahun, yang juga memerlukan biaya tambahan. Setelah itu, internship selama satu tahun pun tidak sepenuhnya menjamin penghasilan. Di banyak tempat, dokter muda hanya menerima tunjangan sekitar Rp. 1 juta hingga Rp. 2 juta per bulan, jumlah yang tak layak jika dibandingkan dengan beban kerja dan tanggung jawab mereka.

Ironisnya, Indonesia justru sedang mengalami krisis kekurangan dokter. Rasio dokter di Indonesia saat ini hanya sekitar 0,47  per 1.000 penduduk, jauh dari standar WHO yang idealnya 1 dokter per 1.000 penduduk. Di banyak daerah terpencil, satu dokter bisa melayani ribuan warga. Negara membutuhkan tenaga medis, namun akses untuk menjadi dokter justru dibatasi oleh biaya pendidikan yang sangat tinggi.

Sistem ini, jika dibiarkan, hanya akan menciptakan lingkaran sempit, hanya anak-anak orang kaya yang bisa menjadi dokter, karena hanya mereka yang sanggup membayar biaya masuk ratusan juta, UKT belasan juta per semester, dan bertahan hidup selama bertahun-tahun studi tanpa penghasilan tetap. Maka, jika kita bertanya, mengapa Indonesia kekurangan dokter? Jawabannya mungkin bukan karena kurang peminat, tapi karena harga pendidikan dokter terlalu mahal, dan belum ada sistem yang bisa mengatur dengan baik masalah ini.

Sudah waktunya negara melakukan evaluasi serius terhadap pembiayaan pendidikan kedokteran. Apakah tidak bisa dibuat sistem afirmatif, di mana calon mahasiswa dari daerah 3T atau keluarga miskin yang jelas memiliki kemampuan akademik yang baik, bisa mendapat kursi tanpa harus bertarung dalam arena yang jelas tak setara? bukankah lebih masuk akal jika negara justru menginvestasikan dana untuk membiayai pendidikan calon dokter demi memenuhi kebutuhan kesehatan nasional?

Jika tidak, maka selama bertahun-tahun kedepan, kita akan terus menyaksikan paradoks yang menyakitkan,  disatu sisi, anak-anak cerdas terpaksa menyerah karena tak mampu membayar kuliah, sementara disisi lain, negara meratapi kekurangan dokter dipelosok negeri.

Penulis adalah: Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat/ Direktur RSU SIS Aldjufrie.

 

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *