Ekspor Udang, Radiasi, dan Reputasi: Pelajaran dari Kasus Cesium 137

Oleh: Sonny Lahati, S.Pi., M.Si.*
Publik Indonesia dikejutkan oleh kabar dari Amerika Serikat pada 19 Agustus 2025. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (US FDA) mengeluarkan peringatan keras kepada konsumen agar tidak membeli udang beku asal Indonesia yang dijual di jaringan ritel besar Walmart.
Bukan karena masalah rasa atau kualitas gizi, melainkan karena alasan yang jauh lebih serius: terdeteksi adanya kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada salah satu produk udang beku mentah yang dikirim oleh PT Bahari Makmur Sejati (BMS Foods). Akibat temuan ini, FDA menempatkan perusahaan tersebut dalam daftar pengawasan dan larangan sementara, serta meminta agar seluruh produk terkait ditarik dari 13 negara bagian AS. Langkah cepat ini dilakukan demi melindungi masyarakat dari potensi paparan radiasi jangka panjang.
Banyak orang mengira Cesium-137 adalah logam berat. Padahal tidak. Cs-137 merupakan unsur radioaktif hasil dari reaksi fisi nuklir—biasanya muncul dalam kegiatan reaktor, limbah medis, atau proses peleburan logam bekas (scrap metal). Walaupun jumlahnya kecil, paparan radiasi dari Cs-137 berpotensi merusak DNA sel dan menyebabkan kanker bila terjadi akumulasi dalam tubuh manusia. Karena itulah FDA bertindak tegas: lebih baik mencegah sejak dini daripada menanggung risiko jangka panjang.
Ekspor udang ke Amerika
Sesuai informasi data word Integrate Trade Solution bahwa or udang beku Indonesia ke AS tahun 2022≈ 117.161 ton dengan nilai ≈ US$1.017 juta (yaitu ~US$1,017,061k). Pada tahun 2023 Ekspor udang beku Indonesia ke AS ≈ 86.192 ton dengan nilai ≈ US$676,386k. (Catatan: data ini untuk HS kode frozen shrimps & prawns).Pada tahun 2024 Volume ekspor Indonesia ke AS dilaporkan sekitar 134.802 – 137.000 ton tergantung sumber (laporan industry/NOAA & analisis perdagangan menunjukkan penurunan YoY dan angka sekitar ~135k ton untuk 2024. Tabel dibawah ini berdasarkan data resmi UN Comtrade, WITS, dan laporan KKP 2024–2025.
Tahun | Volume Ekspor (Ton) | Nilai Ekspor (Juta USD) | Perubahan Volume (%) | Keterangan |
2020 | 117.161 | 1.017 | — | Lonjakan permintaan pandemi, ekspor tinggi |
2021 | 122.530 | 1.092 | +4,6 | Harga udang global naik, pasar AS meningkat |
2022 | 103.900 | 905 | −15,2 | Tekanan pasokan & biaya logistik |
2023 | 86.192 | 676 | −17,1 | Persaingan dari India & Ekuador meningkat |
2024 (estimasi) | 135.000 | 1.020 | +56,6 | Pemulihan permintaan, kurs rupiah menguntungkan |
2025 (skenario optimis) | 150.000 | 1.150 | +11,1 | Pemulihan pasca isu Cs-137, sertifikasi cepat, kepercayaan pulih |
2025 (skenario moderat) | 135.000 | 1.000 | 0,0 | Stabil, pasar menunggu hasil audit dan klarifikasi |
2025 (skenario pesimis) | 95.000 | 680 | −29,6 | Dampak panjang isu Cesium-137, red list FDA memperlambat ekspor |
Investigasi kontaminasi C137
Investigasi awal menunjukkan bahwa kontaminasi tidak berasal dari udangnya sendiri, melainkan dari lingkungan industri darat. Ada dugaan kuat bahwa Cs-137 berasal dari limbah industri logam di kawasan Cikande, Banten, yang mungkin masuk ke rantai pengolahan secara tidak langsung. Ini menjadi catatan penting: pangan laut bisa tercemar bukan karena lautnya kotor, tapi karena sistem industri di darat tidak bersih.
Udang adalah komoditas ekspor andalan Indonesia, menyumbang miliaran dolar setiap tahun. Satu kasus saja bisa mengguncang kepercayaan pembeli internasional, apalagi jika melibatkan isu radiasi yang sangat sensitif. Karenanya, kasus ini bukan sekadar soal teknis, melainkan ujian integritas sistem pengawasan pangan nasional. Bagaimana pemerintah memastikan bahwa setiap produk ekspor benar-benar aman, bersih, dan bebas dari kontaminasi dengan berbagai syarat HACCP ?
Untuk mendeteksi keberadaan Cesium-137, perusahaan eksportir perlu menambahkan langkah-langkah baru dalam HACCP plan, di antaranya:
- Menetapkan bahaya radioaktif sebagai kategori tersendiri dalam analisis bahaya.
- Menentukan titik pengawasan radiasi (misalnya di area penerimaan bahan baku dan setelah pengemasan).
- Menggunakan alat deteksi radiasi (Geiger-Müller counter, gamma spectrometer) secara rutin.
- Melibatkan laboratorium akreditasi BATAN/BRIN untuk uji radioisotop berkala.
- Menerapkan pelatihan khusus HACCP–Radiasi bagi personel QA/QC.
Dengan pendekatan ini, sistem HACCP bukan hanya menjamin keamanan pangan dari bakteri dan bahan kimia, tetapi juga dari ancaman radiologis yang lebih kompleks.
Pemerintah telah merespons cepat dengan langkah-langkah berikut: menarik produk yang terindikasi (recall) dari pasar AS, melakukan audit menyeluruh pada PT BMS Foods, menguji ulang produk perikanan di pelabuhan ekspor utama, dan melibatkan IAEA untuk pendampingan investigasi. Namun, ke depan, pengawasan tidak boleh berhenti di situ. Indonesia perlu membangun sistem pemantauan terpadu yang menghubungkan sektor industri, lingkungan, dan ekspor pangan.
Kasus ini memberi tiga pelajaran penting. Pertama, keamanan pangan dan lingkungan tidak bisa dipisahkan. Jika limbah industri tak terkendali, maka pangan kita pun bisa ikut tercemar. Kedua, transparansi membangun kepercayaan. Dunia kini menuntut keterbukaan, bukan pembelaan. Publik dan pembeli ingin bukti ilmiah, bukan sekadar janji. Ketiga, pengawasan limbah radioaktif non-nuklir harus diperketat. Aktivitas industri seperti peleburan logam perlu dilengkapi sistem deteksi radiasi yang ketat agar insiden serupa tak terulang.
Penutup
Kasus Cesium-137 ini menjadi alarm penting bagi Indonesia untuk memperkuat sistem keamanan pangan laut. Reputasi ekspor dibangun selama puluhan tahun, tetapi bisa runtuh oleh satu kasus jika tidak dikelola dengan bijak. Indonesia punya potensi besar sebagai produsen pangan laut dunia. Namun untuk tetap dipercaya, kita harus memastikan setiap kilogram udang yang keluar dari pelabuhan bukan hanya lezat, tapi juga aman, bersih, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Penulis adalah: Dosen dan Peneliti Lingkungan Perairan, Prodi Sumberdaya Akuatik Fakultas Perikanan Universitas Alkhairaat