Memaknai Hari Santri Tahun 2025
Oleh: M.Z. Muttaqien*
Penetapan hari santri tanggal 22 Oktober 2015 oleh Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian diperingati setiap tahun merupakan momentum refleksi. Penetapan hari bersejarah ini, yang berakar dari Resolusi Jihad 1945, menegaskan peran sentral santri dan pesantren—bukan hanya sebagai benteng pendidikan agama, tetapi juga sebagai pilar perjuangan dan moralitas bangsa.
Namun, di tengah gegap gempita refleksi ini, muncul isu yang menunjukkan betapa rentannya citra pesantren di mata publik: kontroversi tayangan “Xpose Uncensored”. Narasi yang menyajikan kehidupan kiai dan santri secara sepihak, menyoroti praktik “ngesot” saat sowan, dan menuduh kiai mengumpulkan kekayaan dari “amplop” santri, telah memicu gelombang kecaman.
Insiden ini adalah lonceng peringatan. Di satu sisi, ia menunjukkan kekuatan komunitas pesantren. Di sisi lain, ia memaksa kita untuk merenungkan: apakah komunitas santri sudah memiliki kesadaran sosial yang matang untuk menghadapi arus informasi dan narasi negatif di era digital?
Reaksi keras, cepat, dan serentak yang muncul dari alumni dan santri di berbagai daerah—mulai dari protes di media sosial hingga desakan ke KPI dan stasiun TV—adalah manifestasi nyata dari ikatan sosial yang kuat. Dalam kacamata sosiologi, fenomena ini dapat dipahami melalui konsep Solidaritas Mekanik yang digagas oleh Emile Durkheim.
Solidaritas Mekanik didasarkan pada kesamaan dan kesadaran kolektif yang tinggi. Dalam masyarakat atau kelompok yang homogen, seperti pesantren tradisional, individu terikat erat karena memiliki pengalaman, keyakinan, dan sistem nilai yang nyaris sama. Kepatuhan pada Kiai, rutinitas pondok yang seragam, dan kesamaan identitas sebagai santri menciptakan jiwa kolektif yang kokoh.
Ketika narasi dalam tayangan “Xpose Uncensored” menyerang atau mendiskreditkan figur sentral (Kiai) atau institusi suci (Pesantren), hal itu dianggap sebagai serangan terhadap seluruh jiwa kolektif. Respon yang muncul adalah bentuk hukum represif Durkheim, yaitu reaksi moral yang cepat dan tegas untuk menghukum pelanggaran terhadap keyakinan bersama. Solidaritas Mekanik inilah yang menjadi “benteng pertahanan” pertama santri terhadap narasi destruktif.
Meskipun Solidaritas Mekanik sangat penting sebagai tameng, ia juga menyimpan perangkap. Kekuatan ikatan yang terlalu homogen rentan memicu reaksi defensif buta dan penolakan total terhadap segala bentuk kritik. Padahal, santri hari ini hidup dalam masyarakat modern yang kian kompleks.
Masyarakat modern ditandai oleh Solidaritas Organik, di mana ikatan sosial tidak lagi didasarkan pada kesamaan, melainkan pada perbedaan fungsi dan saling ketergantungan (spesialisasi kerja). Santri kini tersebar di berbagai sektor: politik, ekonomi, teknologi, dan akademisi. Mereka adalah bagian yang terspesialisasi dalam “organ” besar bernama bangsa.
Oleh karena itu, Solidaritas Mekanik harus disandingkan dengan Kesadaran Sosial yang meluas. Kesadaran Sosial di sini memiliki dua dimensi:
Pertama, Kesadaran Eksternal: Santri harus mampu melihat narasi negatif seperti kasus Trans 7 bukan hanya sebagai penghinaan agama, tetapi sebagai persoalan struktural media dan politik wacana. Reaksi tidak boleh berhenti pada permintaan maaf, tetapi harus mendorong reformasi etika penyiaran agar media lebih bertanggung jawab dan sensitif terhadap keberagaman budaya dan sosial. Santri harus menjadi advokat bagi integritas informasi publik.
Kedua, Kesadaran Internal dan Otorefleksi: Kekuatan kolektif juga harus diarahkan untuk melakukan kritik konstruktif ke dalam. Santri harus membedakan kritik yang merusak dari otokritik yang membangun. Jika ada kritik jujur mengenai isu transparansi, kekerasan, atau penyimpangan, komunitas santri harus memiliki kesadaran.
Selamat Hari Santri Nasional 2025…
Penulis adalah Santri Junior saat ini sebagai Dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Alkhairaat*
