Peluang Gerakan Mahasiswa Kekinian
Oleh : Bayuprasetio
Garis sejarah mahasiswa yang cukup panjang itu juga menambah kebanggaan berstatus mahasiswa.
Mahasiswa memiliki sejarah yang tak bisa dilupakan di Indonesia, ia hadir dalam bentuk kelompok-kelompok pergerakan penentu arah politik. Dimulai dari proses kemerdekaan hingga gerakan mahasiswa yang dianggap terbesar di Indonesia yaitu tragedi 1998 yang berhasil menurunkan soeharto dari puncak kekuasaan.
Garis sejarah mahasiswa yang cukup panjang itu juga menambah kebanggaan berstatus mahasiswa. Kepercayaan bahwa mereka adalah kelompok agent of change sudah menjadi paradigma saat ini. Namun, hal itu bukan berarti gerakan mahasiswa makin meningkat kian waktu. Masih banyak hal-hal lain yang menjadi faktor pembentuk idealitasnya.
Beberapa faktor yang bisa jadi pengaruh terhadap gerakan mahasiswa adalah tingkat kepercayaan politik (political trust), kesadaran memiliki peran dalam politik atau efikasi politik (political efficacy) dan juga bisa dipengaruhi oleh perasaan memiliki identitas kelompok (collective self estem).
Ketiga hal itu harus dipahami jika ingin membangkitkan gerakan mahasiswa. Pada umumnya gerakan mahasiswa terbentuk akibat adanya penindasan atau hal-hal yang bersifat merugikan pada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. seperti kejadian-kejadian silam, kita bisa mengetahui tragedi 98 meledak karena krisis ekonomi yang terjadi pada zaman itu. Juga gerakan-gerakan mahasiswa yang saat ini bergejolak seperti pada pembangunan bandara internasional Jogjakarta di Kulonprogo juga karena adanya penindasan berupa perampasan tanah milik masyarakat.
Catatan-catatan negatif sepanjang sejarah itu juga sangat berpengaruh pada tiga faktor yang disebutkan sebelumnya. Adanya ketidak percayaan politik, atau perilaku yang menganggap bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan tanggung jawabnya sangat dipengaruhi oleh rekam jejak sejarah dari masa ke masa. Semakin rendahnya kepercayaan politik (political trust) maka gerakan sosial akan meningkat salah satunya gerakan mahasiswa. Dalam hal ini mahasiswa akhirnya menganggap harus ada perubahan di kubu pemerintah agar lebih baik.
Timbulnya perasaan mereka berperan dalam persoalan politik negeri, atau efikasi politik juga tumbuh bersamaan dengan adanya ketidakpercayaan mereka terhadap perpolitikan. Akhirnya mereka mengambil peran-peran di masyarakat dengan salah satunya membuat organisasi-organisasi mahasiswa yang berfungsi untuk pengorganisasian massa dengan tujuan yang sama.
Setelah terbentuknya efikasi politik, mereka pun melangkah pada tahap selanjutnya yaitu perasaan berkelompok (collective self esteem). Hal ini membuat mereka saling bekerja sama, membantu dalam pergerakan dan membuat sebuah gerakan tersebut semakin kuat sampai bahkan pada titik tertentu mereka mampu mengubah 180 derajat keadaan sebelumnya, sampai mampu menggulingkan penguasa lalim.
Lalu yang menjadi persoalan mahasiswa kini adalah cara bagaimana membentuk sebuah pergerakan jadi ideal setidaknya dari pengaruh-pengaruh yang telah disebutkan. Disini kesadaran kritis juga perlu ditumbuhkan pada mahasiswa. tidak tumbuhnya kesadaran kritis, seperti yang disebutkan oleh Paulo Freire dalam bukunya, pedagogy of the oppressed juga disebabkan oleh sistem pendidikan yang seolah-olah sengaja mencegah pembelajar mendapatkan kesadaran kritis. Hal tersebut, ia katakan memiliki tujuan untuk mempertahankan kekuasaan kaum borjuis agar tetap berada pada kedudukan tertinggi.
Pergerakan mahasiswa haruslah bisa mendobrak batas itu agar kesadaran kritis mampu diraih. Berkaitan dengan political trust, Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika seseorang mengalami rendahnya kepercayaan politik terhadap pemerintah.
Pertama, ia menjadi seorang yang apatis, tak peduli pada apa yang terjadi pada lingkungannya. Kedua, timbulnya kemauan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Pada titik inilah kesadaran kritis diperlukan agar nantinya ketika penguasa politik sudah tidak bisa dipercaya, mahasiswa akan memiliki tekad untuk mengubahnya dengan berbagai bentuk pergerakan.
karena itu, banyak organisasi mengadakan pendidikan dan pelatihan analisis sosial yang diharapkan mampu membuat para kadernya menjadi lebih peka terhadap keadaan sekitar dengan tumbuhnya kesadaran kritis. Jika kesadaran kritis telah terbentuk, maka baik itu pengaruh dari political trust, Political efficacy maupun collective self esteem terhadap pergerakan akan lebih positif.
Namun kita patut akui sebuah pergerakan dari masa ke masa tentulah menghadapi situasi yang berbeda. Pada masa kini, mahasiswa masih didominasi oleh kaum milenial akhir (generasi y) yang dalam waktu 5 tahun ke depan akan digantikan oleh generasi Z yang juga memiliki potensinya sendiri. hadirnya media sosial tentu jadi salah satu potensi berbagai gerakan bisa maju. keterbukaan akses media sosial membuatnya mampu menyebarkan informasi secara luas dan bahkan dengan basis massa menjangkau seluruh dunia.
Di indonesia saja, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh salah satu perusahaan Inggris, We Are Social berjudul “essential insights into internet, social media, mobile, and E-commerce use around the world”, terdapat 130 juta pengguna aktif media sosial di indonesia dengan penetrasi 49 persen per januari 2018.
Besarnya pengguna media sosial akan memudahkan generasi masa kini dalam berinteraksi dan berbagi pendapat mengenai suatu hal. Jika kekuatan ini bisa digunakan oleh mahasiswa untuk memperluas pergerakannya maka akan jadi pertimbangan pemerintah dalam mengatasi suatu permasalahan.
Salah satu studi kasus yang bisa kita ambil ialah terciptanya laman petisi online Change.org yang mampu mewadahi aspirasi masyarakat dan menggalang kekuatan massa untuk suatu permasalahan. Di tahun 2018, Change.org meraih banyak kemenangan petisi, salah satunya soal pengesahan UU MD3 (undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, DPD) yang makin membuat mereka kebal kritik dan hukum menimbulkan banyaknya penolakan. Massa yang tergolong dalam koalisi UU MD3 membuat petisi online di change.org dan berhasil mendapatkan 240 ribu petisi.
Hal itu telah memperkuat pergerakan mereka yang akhirnya mampu memenangkan advokasi tersebut dengan dilaksanakannya uji materi dan pembatalan UU MD3 yang telah disahkan. Ada banyak contoh lainnya yang telah berhasil dari penggalangan petisi online, penggunanya pun sudah lebih dari 200 juta pengguna di 196 negara. Bahkan berdasarkan laman change.org, terdapat satu kemenangan petisi setiap jamnya dalam lingkup dunia.
Hal ini perlu jadi perhatian mahasiswa, di samping pergerakan massa secara langsung dengan mengadakan demonstrasi, audiensi dan bentuk aksi lainnya, juga sangat direkomendasikan menggalang massa dengan media sosial ataupun petisi online untuk memperluas peluang kemenangan. Dengan adanya media sosial dan petisi online, orang-orang yang belum memiliki kemauan untuk bergerak secara langsung, mampu memberikan suaranya untuk membantu penyelesaian.
Penulis : aktif di media pers mahasiswa (Lembaga Pers Mahasiswa Bhaskara) Universitas Muhammadiyah Purwokerto