NILAIMU TAK LAGI MEMBUMI (Refleksi Hari Kesaktian Pancasila)
Oleh : Kasman Jaya Saad
Kata sakti itu makin sayup, meski tetap dirayakan. Kesaktian Pancasila itu dikenang dan dirayakan hari ini. Pancasila adalah dasar negara dan falsafah bangsa. Namun terpaparnya bangsa ini dengan perilaku koruptif para elit negeri dan gersangnya perilaku anak negeri ini, ditandai dengan makin kuatnya polarisasi ditengah masyarakat, menunjukkan bahwa kemuliaan nilai-nilai Pancasila masih sebatas retorika,melangit, jauh harapan dengan kenyataan, antara Das sollen atau kaidah atau norma dalam nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dilakukan dan Das sein atau kenyataan yang dipraktekkan para elit masih begitu menganga. Tiap-tiap dari mereka merasa (pasti) benar dan orang lain (pasti) salah, tidak ada niat baik untuk sesekali mengakui fakta keberhasilan yang lain, begitu juga sebaliknya. Persaudaraan makin memudar, perbedaan bukan lagi menjadi perekat, tapi sebagai legitimasi untuk saling meniadakan,
Semangat nilai ketuhanan, yang seharusnya menjadi sandaran transenden, tak memiliki makna apa-apa. Para elit sudah tidak segan mengkhianati negeri dan sesamanya. Sumpah jabatan sebagai wujud permaknaannya, disalahgunakan, hanya dijadikan formalitas, karena ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah begitu merajalela.
Pada rana kemanusiaan, yang mestinya mewujudkan kesamaan, kederajatan dan persaudaraan manusia, tergilas oleh perilaku pragmatis dan hedonistis para elitnya, sehingga tak lagi memiliki kepeduliaan akan derita rakyat yang tetap kelam dan tak menikmati manisnya makna kemerdekaan yang dijanjikan, adil dan makmur. Dalam bahasan yang lugas Yudi Latif (Revolusi Pancasila,2015) menyebut, ditemukan di negeri ini adalah jalan bercabang dua yang satu adalah jalan mulus bagi segelintir orang yang hidup bergelimpangan, sama dapat, sama bahagia, sedang jalan yang satu lagi adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkerungan, sama ratap, sama sengsara. Kekuasaan datang-hilang, silih berganti membuai mimpi, tetapi nasib rakyat tetap sama, kekal menderita.
Persatuan menjadi dasar penting dalam bernegara, tercegat kepentingan golongan dan kekuasaan, sehingga saling mengucilkan dan bahkan saling meniadakan. Keragaman pun, yang semestinya menjadi wahana saling mengenal, saling belajar dan menyempurnakan serta melayani untuk memperkuat persatuan, justru menjadi wahana untuk mempertontonkan kedominasian yang menyeret untuk saling mengklaim kekuatan, dan mengabaikan nilai-nilai
keanekaragaman yang menopang persatuan.
Dan pemilu yang sebagai perwujudan demokrasi permuswaratan, dengan maksud untuk memperkuat daulat rakyat, justru menghadirkan polarisasi dan mengancam persatuan. Para elit belum juga menghadirkan demokrasi atau pemilu yang bermartabat, bahwa kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Demokrasi hanya dimaknai sekedar jargon dalam proses politik dan sekedar pilihan sebagai bentuk wujud berlangsungnya proses politik dalam bernegara. Demokrasi akhirnya tidak mampu menawarkan solusi berbagai problem sosial masyarakat dan bahkan dibiarkan menjadi alat pembenaran untuk saling menyerang, dengan mengoperasikan sarana pemaksaan dan kebencian. Dan makin kuatnya penetrasi neoliberalisme dalam demokrasi, memaksa demokrasi seakan hanya milik pemodal, dan yang terpilih adalah pada mereka yang memiliki “amunisi dana’ yang besar, mengabaikan kapasitas dan integritas. Sehingga yang tersisa adalah kekecewaan dan ketidakberdayaan pemilik kedaulatan-rakyat, karena daulat rakyat hanya memperkuat segelintir orang.
Semangat mewujudkan keadilan masih termangu, masih terjal dan berliku. Penuh onak dan duri bagi mereka, rakyat kebanyakan untuk ‘sekedar’menikmati keadilan. Hukum lumpuh tak kuasa meredam penyalahgunaan kekuasaan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, adagium yang salah menurut Prof. Mahfud MD, yang benar, hukum tumpul ke atas dan tumpul ke bawah, karena yang di atas enak karena mampu menyuap, yang di bawah terkena karena tak mampu menyuap. Begitulah keadilan di negeri ini. Nilaimu tak lagi sakti.
Dan negeri ini, seharusnya dibuat bangga dengan kesaktian Pancasila. Nilai-nilai yang termaktub didalam harusnya dimaknai lebih dalam. Jadi tidak sekedar ritual upacara. Pancasila sejatihnya harus mampu menjadi ruh dan jiwa setiap perilaku anak-anak bangsa ini. Pancasila harus dibumikan nilai-nilainya dalam denyut jantung elit dan penyelenggara negeri ini, tidak sekedar sebagai alat instrumen kekuasaan, dan berhenti dalam lingkaran politik praktis dan kekuasaan.
Penulis : Dosen Universitas Alkhairaat