TAK SEKEDAR MERDEKA BELAJAR
Oleh: Kasman Jaya Saad
Hari ini tanggal 2 Mei, pendidikan kita kembali diingatkan untuk melakukan refleksi. Membuka diri, untuk menatap ke depan seperti apa produk pendidikan kita. Menteri Pendidik dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Nadiem Makarim membuat kebijakan baru yang dikenal dengan Merdeka Belajar. Yang dimaksud merdeka belajar ala pak Menteri dalam kebijakan strategisnya adalah Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah dan ujian dilakukan untuk menilai kompetensi siswa. Ujian Nasional (UN) diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) selama ini, kaku, kedepanya guru akan bebas memilih, membuat, menggunakan dan mengembangkan format RPP-nya sendiri. Demikian halnya Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan lebih fleksibel, untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah dan daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi. Demikian paham merdeka belajar itu.
Saya tak bermaksud untuk mempersoalkan kebijakan pak menteri ini, namun lebih ingin mengingatkan bahwa sebagai bagian produk pendidikan negeri ini, kita seakan masih kehilangan komitmen dan kepatuhan. Banyak program yang telah ditelorkan para pengambil kebijakan di negeri ini, namun miskin komitmen dan kepatuhan para pelakunya. Pelaku pendidikan masih terjebak pada sistem administrasi pendidikan, ketentuan-ketentuan birokrasi, akreditasi, nilai dan ujian, sibuk menyiapkan berkas ini dan itu. Dan itu sudah menjadi tujuan bahkan menjadi prioritas.Tak mampu membedakan mana cara dan tujuan, sehingga cara dijadikan tujuan.
Merdeka belajar, harus dimaknai pada pemahaman akan pentingnya komitmen dan kepatuhan itu dalam diri seseorang. Dan kita dapat belajar bagaimana komitmen dan kepatuhan para leluhur, para orang tua kita duhulu mempraktekkannya. Bagaimana mereka menghidupkan nilai-nilai kebaikan yang diperolehnya dalam dunia pendidikan. Mereka memaknai pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi sesama. Dan para leluhur kita tak pernah berpikir jalan pintas (shortcut) untuk mencapai sesuatu, termasuk dalam memperoleh pendidikan. Tak seperti anak negeri sekarang, jalan pintas menjadi kegemaran. Demi selembar ijazah, segala cara dilakukan. Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi capital dan mendapatkan keuntungan.
Komitmen dan kepatuhan itu begitu membumi dalam setiap gerak lakunya. Mereka mungkin para leluhur kita tak terlalu pandai berwacana dan berdebat, namun mereka istiqomah dalam kata dan perbuatannya. Tidak serakah. Para leluhur juga sangat menjaga hidupnya agar dipenuhi berkah, itu sebab tidak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Hidup sederhana selalu dipertontonkan. Buah dari pendidikan yang diperolehnya tak sekedar dinikmati sendiri namun benar-benar dipraktekkan dalam kehidupan kesehariannya. Mereka menjadikan kejujuran dan ucapan yang benar sebagai pagar kehidupannya. Tak akan berani melakukan kebohongan. Dan itu tertanam, serta bagaimana sikap tegas dalam kata, teguh dalam perbuatan. Mereka tak kompromi bila itu tak sesuai aturan. Ini soal komitmen. Tak lazim ditemukan sekarang, kita sebagai produk pendidikan kini, yang ada omongan dengan perbuatan saling bertolak belakang. Kebohongan berseliweran, menjadi santapan keseharian di dunia pendidikan dan menjadikan pendidikan tak punya daya magis lagi.
Pendidikan sejatihnya menyimpan kekuatan luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek kehidupan kita dalam mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan. Itu sebab pendidikan tak sekedar merdeka belajar, namun juga penting bagaimana belajar berkomitmen. Belajar mematuhi yang telah disepakati. Dan terus memberi keteladanan, sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang kelakuhan, perbuatan, sifat, dan sebagainya) dalam kehidupan kita agar pendidikan sungguh-sungguh dapat menjadi faktor pendorong bagi kemajuan peradaban umat manusia. Semoga.
Penulis adalah Dosen Unisa Palu