Iktibar dari Rumah Sakit
Oleh: Dr. Ir. Kasman Jaya Saad, M.Si.
Pagi tadi, bersama wanita yang mendampingiku mengarungi bahtera rumah tangga menengok kawan baik, teman sejawat di kampus, di rumah sakit, diruang IMCC. Ruang intermediate coronary care (IMCC) juga digunakan oleh pasien yang hendak beralih dari Unit Gawat Darurat ke ruang Intensive Care Unit (ICU).
Ruang IMCC dapat digunakan untuk pasien yang membutuhkan pengawasan intens dari tim medis namun tidak membutuhkan pelayanan seintensif ruang ICU. Sebelumnya sampai diruang IMCC, saya berpapasan beberapa pasien yang didorong dikursi roda oleh perawat, lemah tak berdaya. Tentu saja bagi mereka, kembali sehat adalah asa yang dirindukan.
Sampai di ruang ICMM, dengan jam kunjungan sangat terbatas, karena pasien lagi dalam perawatan intensif. Melihat kondisi kawan baik, lemas tak berdaya, hanya terlihat dari bola matanya ada senang atas kedatangan kami. Doapun kami panjatkan untuknya, agar segera disembuhkan.
Di samping kawan baik itu, terlihat beberapa pasien mengalami nasib sama, entah apa penyebab penyakitnya, namun masing-masing dari pasien terpampang layar monitor menampilkan grafis tentang kinerja organ tubuh, detak jantung, kadar oksigen di dalam darah, dan tekanan darah para pasien yang naik turun. Kerja organ yang sering kita remehkan ketika sehat.
Di samping mereka ada ventilator yang dihubungkan dengan selang dimasukkan lewat hidung untuk sekedar bernafas serta selang infus melekat ditangan sebelah kiri untuk sekedar memperoleh kekuatan. Dan sebelah kanan di ranjang pasien terdapat kateter berhubungan dengan alat “vital” pasien, untuk mengosongkan kandung kemih, yang tak juga lagi mampu dilakukannya sendiri.
Menyaksikan kondisi kawan baik itu yang baring lemah, tak berdaya, ada getar dalam hati, menyelinap kesanubari, mengiang dalam pikiran saya, seakan mengingatkan “Tengok keadaan kawanmu itu, baring tak berdaya, doa kupanjatkan kembali untuk kesembuhannya.
Namun saya jadi teringat atas segala dosa dan khilaf yang telah kulakukan. Atas tabiat rendah yang sering masih menyelinap karena atribut yang nisbi baik berupa gelar akademik, reputasi keilmuan dan lainnya.Bagaimana jika sekarang saya terbaring di ruangan ini”. Pikiran saya melayang, menerobos memori hari-hari yang penuh khilaf dengan catatan yang penuh celah.
Sayapun tertegun. Mensyukusri segala nikmat yang terberikan, atas sehat yang masih diberikan, yang sering kita lalai dan melupakannya, bahkan terlupakan sama sekali, bahwa sehat adalah karunia ilahi yang tak ternilai.
Kudamaikan diriku dengan rasa syukur yang begitu banyak terberikan, terlebih dengan sehat masih diberikan. Alhamdulillah bahwa makan dan minum bisa kunikmati tanpa selang oksigen bisa kuhirup tanpa ventilator. Buang air dengan leluasa di kamar mandi (WC) tanpa kateter. Kutataplah raut wajahku, sudah mulai menua, meski masih melapaskan lisan dengan sempurna. Kesehatan memang bukanlah segalanya, akan tetapi tanpa kesehatan segalanya itu tiada arti. Tanpa kesehatan, hidup ini bukanlah hidup yang kita rindukan.
Siang ini kunikmati buku “Sehat itu murah” Karya bagus dr.Handrawan Nadesul….Tabe.
Penulis adalah Dosen Senior Universitas Alkhairaat/Ketua Komisi Etik Unisa.