MENGHILANGKAN STIGMA TERHADAP PERAN PEREMPUAN (Refleksi Hari Ibu ke-95)

Oleh: Dr. Ahmadan B. Lamuri,S.Ag.,M.HI*
Memperingati Hari Ibu ke-95, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menetapkan tema “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”.
Penetapan tema tersebut secara nyata mengingatkan kalau kaum ibu (perempuan), memiliki kekuatan dan kemampuan yang handal dan strategis untuk digerakkan dan terlibat pada proses pembangunan bangsa. Merujuk informasi al-Qur’an surah Ali Imran ayat 14 bahwa yang paling menarik bagi lelaki adalah kecintaannya terhadap “perempuan”. Dapat dibayangkan jika sekiranya kehidupan manusia tanpa kehadiran perempuan, bisa menjadi sebab lahirnya kegalauan, laksana seorang petani tanpa sawah. Bahkan ada pandangan yang lebih ekstrim “perempuan itu merupakan sosok manusia yang sulit dipahami; mencintai seorang perempuan cukup seorang lelaki saja; tetapi memahaminya seribu lelaki belumlah cukup”.
Anehnya masih juga di temukan dalam pergaulan bermasyarakat adanya anggapan perempuan dipandang sebagai ranah domestik, sebagai ruang tidak politis, dan sebagainya. Berikut dijelaskan di antara latarbelakang mengapa stigma itu tetap ada dan apakah terus disebarluaskan.
Al-Qur’an surah al-Nisaa ayat 1; yang inti informasinya bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dari nafs yang sama dan dari itulah Allah menciptakan pasangannya. Beberapa ulama tafsir memahami kalau isterinya Nabi Adam itu diciptakan dari tulang rusuk dan bengkok pula, sehingga membutuhkan kehati-hatian dalam memperlakukannya; ini dianggap kelemahan yang dimilikinya dan implikasinya kebanyakan perempuan selalu dianggap lemah.
Al-Qur’an surah al-Nisaa ayat 11: ayat ini menyinggung masalah pembagian warisan dan menunjukkan bahwa kemanusiaan perempuan itu kurang, dibanding kaum laki-laki mengakibatkan pembagian harta pusaka perempuan hanya memperoleh separuh dari bagian laki-laki. Dari penjelasan ini nampak posisi perempuan tidak sejajar dengan laki-laki. Masih ada ayat-ayat lainnya yang juga bisa semakna dengan ayat diatas. Walaupun tulisan ini tidak menampilkan pandangan para ahli terkait makna dibalik ayat-ayat tersebut, hanya kesimpulannya menunjukkan adanya perbedaan peran keduanya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita” (Bukhari: 4425 & 7099). Hadits ini membangun stigma wanita itu dipandang tidak akan menguntungkan bagi suatu kaum atau komunitas di saat mereka menjadi hakim atau top leader. Akibatnya dominasi dalam politik kepemimpinan, peran perempuan masih diberikan proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Hadits ini juga sejalan dengan hadits yang menyatakan tidak dibolehkannya wanita diangkat menjadi hakim akibat perempuan itu dinilai kurang akal dan agamanya. Jadi posisi wanita masih tetap di bawah laki-laki.
Pandangan sebagian ulama fiqhi bahwa suara wanita itu adalah aurat. Oleh sebab itu, wanita tidak sejajar dengan pria. Kemanusiaan perempuan tidak sama dengan kaum laki-laki (Huzaemah T. Yanggo).
Stigma yang demikian itu bukan karena dalilnya yang keliru atau salah; tetapi hasil analisis Huzaemah T. Yanggo bahwa adanya tafsir dan penjelasan dari ayat dan hadits sampai menetapkan adanya perbedaan itu, sebenarnya disebabkan oleh tafsir yang hanya mendasarkan pada makna tekstual dan tidak memperhatikan aspek asbab nuzul atau konteks diturunkannya ayat; atau juga asbab wurud sebab diucapkannya hadits oleh Nabi Muhammad saw; maka lahirlah anggapan laki-laki superioritas dan perempuan suberdinat semata. Akibatnya peran perempuan hanya ditafsirkan pada wilayah domestik dan laki-laki di wilayah publik.
Apakah masih harus terus mengembangkan stigma terhadap perempuan seperti digambarkan diatas? Padahal di zaman modern ini masyarakat sangat menjunjung tinggi kehidupan berdemokrasi dimana antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam hal apapun termasuk menjadi seorang pemimpin (Ma’had Aly Tebuireng). Sebagai dukungan terhadap peran dan posisi perempuan dalam hidup bersama; di bawah ini di jelaskan beberapa alasan perlu dan semestinya stigma atas posisi perempuan tidak sejajar dengan laki-laki disingkirkan dalam pergaulan hidup bersama.
Bekerja adalah keniscayaan hidup
Hidup merupakan salah satu kondisi yang diciptakan Allah swt di samping kematian. “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun (Q.S. al-Mulk: 2).
Ayat ini menekankan bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan; dituntut untuk dapat mengerahkan segala kemampuan terbaiknya dalam bekerja dan melakukan amalan terkait dengan tugas-tugasnya. Jika ada di antara seseorang yang enggan bahkan tidak mau untuk berusaha apalagi mencapai kesuksesan tugasnya sungguh orang tersebut telah melalaikan kewajibannya. Ayat ini juga menegaskan diciptakannya hidup dan mati adalah strategi Allah swt menguji pada setiap hamba-Nya; ujian itu untuk mengukur dan menilai siapa yang paling terbaik amalannya. Tentu sangat jelas laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mencapai tingkat prestasi terbaik di sisi Allah swt selama menjalani hidup dan menghadapi kematian.
Kesempatan yang sama untuk berprestasi
Pada surah al-Nisaa ayat 32 juga menjelaskan bahwa bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan demikian pula bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Ibnu Asyur seperti dikutip oleh tim lajnah pentashihan mushaf al-Qur’an menuliskan bahwa “setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan bagiannya dalam menikmati fasilitas duniawi yang diperuntukkan baginya sebagai balasan atas kerja kerasnya atau sebagian usaha yang telah dia lakukan.
Justru ada lagi ayat yang ekstrim telah menempatkan kesetaraan laki-laki dan perempuan untuk berkarir dan berprestasi baik dibidang spiritual maupun profesional sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Nahl ayat 97. “Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka dikerjakan”.
Beberapa tanggapan dalam dunia kerja; misalnya yang diungkapkan oleh Nurul Qoyimah (Kepala Divisi Humas dan Administrasi Kantor Badan Pengelola Keuangan Haji) mengatakan kenyataan menunjukkan bahwa peran perempuan di dunia kehumasan kini sudah mengalami perubahan yang signifikan, dan semakin strategis. Sudah masanya para perempuan menjadi motor penggerak strategi yang mampu membawa citra dan reputasi organisasi dan memberikan kontribusi lebih bagi lingkungan kerjanya. Selanjutnya dalam sebuah kegiatan FGD yang dilaksanakan oleh Mahasiswa PSDKU UNAIR mengungkapkan bahwa perempuan adalah salah satu kekuatan terbesar yang memiliki peranan penting bagi sebuah bangsa. Sehingga perempuan juga perlu diberi ruang untuk menjadi subjek atau aktor untuk membuat kebijakan dan perubahan. Masih banyak lagi kegiatan yang didalamnya telah menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki; walaupun belum sepenuhnya posisi itu dikuasai oleh perempuan.
Sebagai akhir dari uraian ini, penulis mengungkapkan pandangan pakar fikih perbandingan yakni Huzaemah T. Yanggo yang berkementar bahwa kedudukan wanita dan pria sejajar sebagaimana Islam telah memberikan kesempatan kepada kaum perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial, politik, pendidikan, dan lain sebagainya selama tidak menyalahi garis yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam dan tidak mengurangi nilai martabatnya sebagai seorang perempuan. Oleh sebab itu, agama tidak membedakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki, kalaupun ada hanyalah akibat dari fungsi dan tugas utama yang telah dibebankan Tuhan kepadanya; sehingga perbedaan itu tidak menyebabkan yang satu merasa superioritas (pria/laki-laki) dan yang lainnya sebagai suberdinat (perempuan/wanita) akan tetapi perbedaan itu untuk saling melengkapi dan saling menyempurnakan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya masing-masing.
Jikalau laki-laki dapat menguasai segala lini kehidupan sebab daya dan kemampuannya; maka perempuan sebenarnya jauh lebih memiliki daya itu, tetapi daya itu belum terbuka untuk disandingkan secara bersama. Perempuan berdaya bangsa akan maju. Selamat hari Ibu. Wallahul A’lam.
Penulis adalah Dosen Tetap Universitas Alkhairaat*