Dari Buku ke Media Sosial: Apakah Sastra Sedang Kehilangan Jiwanya?

Oleh: Nasim Taha, S.Pd.,M.Pd.*
Di masa lalu, sastra hadir dengan khidmat di antara halaman-halaman buku, dibaca dengan tenang diruang-ruang sunyi, dan dinikmati sebagai ruang kontemplasi. Namun kini, diera digital, sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Puisi hadir dalam bentuk caption di media sosial seperti, Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya, cerpen ditulis dalam utas pada media sosial, dan novel beranak-pinak di platform media sosial. Sastra tak lagi hanya tinggal dirak-rak perpustakaan atau toko buku, ia kini hidup dalam layar, menyusup di antara notifikasi dan scroll media sosial tanpa henti.
Perubahan medium ini tentu membawa dampak yang tak bisa diabaikan. Ketika dulu sastra adalah ranah keheningan dan kedalaman, kini ia beradaptasi menjadi cepat, ringan, dan visual. Puisi pada media sosial dengan gaya minimalis, bahasa lugas, dan desain estetis menjadi bentuk baru yang digandrungi generasi muda. Cerita-cerita pendek viral lebih mementingkan alur cepat dan punchline (Lelucon) yang mengena ketimbang kedalaman naratif atau eksperimentasi gaya.
Apakah ini kemunduran? Atau evolusi sastra?
Di satu sisi, kita menyaksikan demokratis sastra. Siapa pun kini bisa menulis dan membagikan karya mereka tanpa harus melalui penerbit besar atau media sastra mapan. Penulis muda bermunculan dari berbagai kota dan latar belakang, membuktikan bahwa suara sastra tak lagi menjadi milik atau di monopoli elit budaya. Namun di sisi lain, sastra yang lahir dan tumbuh di ekosistem media sosial juga tak lepas dari logika algoritma, popularitas, like, dan share menjadi ukuran keberhasilan.
Inilah yang kemudian menimbulkan kegelisahan. Apakah sastra hari ini benar-benar masih ditulis untuk menyampaikan makna, atau sekadar untuk disukai? Ketika yang viral dianggap lebih penting daripada yang bernas, kita bisa jadi sedang menyaksikan pergeseran nilai. Sastra, alih-alih sebagai ruang ekspresi dan refleksi, mulai terjebak dalam siklus produksi konten yang cepat dan dangkal.
Namun tentu tak semua patut diratapi. Justru di sinilah pertaruhan terletak. Bagaimana mempertahankan yang reflektif, yang jujur, yang mendalam ditengah derasnya arus digitalisasi. Mungkin bentuknya berubah, gayanya menyesuaikan zaman, namun esensinya bisa tetap dijaga. Tugas ini tak hanya menjadi tanggung jawab penulis, tetapi juga pembaca, berani memilih, menyelami, dan menghargai karya yang lebih dari sekadar viral.
Sastra hari ini memang berada di persimpangan jalan, antara buku dan layar, antara kedalaman dan kecepatan, antara makna dan algoritma. Namun justru di sanalah peluang muncul. Mungkin jiwa sastra tidak hilang, ia hanya sedang mencari cara baru untuk bertahan dan menyapa generasi barunya.
*Penulis adalah Dosen Yayasan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Allkhairaat.