MURAHNYA NYAWA MANUSIA

MURAHNYA NYAWA MANUSIA

Belum hilang rasa duka atas meninggalnya satu keluarga di Kabupaten Sigi akibat pembunuhan dari orang yang tidak bertanggungjawab; tiba-tiba public dikagetkan dengan terbunuhnya enam orang anggota Laskar FPI yang di lakukan oleh aparat kepolisian; entah apa alasan dan pertimbangannya, tetapi menghilangkan nyawa seseorang perlu disesalkan.

Pembunuhan telah terjadi, ragam interpretasi berkeliaran di media sosial. Salah satu cuitan yang menjadi inspirasi lahirnya tulisan dengan judul di atas adalah “semurah itukah nyawa manusia di Indonesia”. Tulisan ini tidak menjelaskan problem serta polemik yang menjadi sebab peristiwa tersebut, melainkan lebih melihat pada aspek menempatkan nyawa manusia sebagai sesuatu yang terhormat. Kalau pun pembunuhan itu disebabkan oleh adanya benturan hukum, tetapi seluruh produk hukum harusnya tetap bertujuan untuk kehidupan manusia pula. Peristiwa bunuh membunuh atau menghilangkan nyawa manusia sebenarnya bukanlah peristiwa baru; akan tetapi telah ada di masa hidupnya Qabil dan Habil. Qabil membunuh adiknya Habil dan peristiwa ini merupakan pembunuhan pertama di dunia ini.

Pembunuhan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di Negara lain pun sama. Hanya jika kita merujuk pada falsafah hidup bangsa dimana sila-silanya telah menempatkan posisi dan martabat manusia itu sendiri, sungguh menyedihkan ketika nyawa manusia dianggap bukan sesuatu yang terhormat dan mulia.  Kadang membunuh itu dicarikan alasan sebagai pembelaan dan pembenaran. Sila perikemanusiaan yang adil dan beradab itu lebih tepat dititipkan kepada hewan, bukan lagi kepada manusia. Katanya NKRI harga mati tapi apalah artinya kalau antar penghuninya telah membangun rasa ketidak manusiaan. Kondisi yang kurang kondusif bisa menjadi santapan nikmat bagi kelompok-kelompok tertentu untuk masuk membuat provokasi.

Merujuk pada konsepsi al-Qur’an, nyawa dibahasakan dengan al-nafs yang berarti nyawa yang memiliki hak untuk dijaga. Menjaga nafs itu dimaksudkan totalitas dengan apa yang dikandung di dalamnya yakni menjaga kehormatan diri manusia. Jadi menjaga dan menghindari adanya pembunuhan berarti kita telah berusaha menjaga kehormatan manusia. Sehingga apabila ada pembunuhan maka dapat dikatakan yang membunuh berada pada pihak yang tidak menjaga kehormatan diri manusia; padahal yang bersangkutan pun sama dengan yang dibunuhnya.

Nuruddin bin Mukhtar al-Khadimiy menjelaskan bahwa menjaga nafs itu mengandung nilai: menjaga hal diri untuk hidup; menjaga keselamatan; menjaga kehormatan; dan menjaga kemuliaan. Karena memang Allah swt yang menciptakan manusia telah memberikan penghargaan itu kepada manusia. Kehormatan, kemuliaan, keistimewaan yang dianugerahkan Allah swt kepada anak cucu Adam as. Pembunuh dan yang terbunuh sama-sama menghendaki adanya penghormatan terhadap hidupnya. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “manusia siapapun harus dihormati hak-haknya tanpa pembedaan. Hal ini sebagaimana yang diamanahkan Allah swt dalam surah al-Isra ayat 70: “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. Sebagai bukti Islam menghormati hak hidup setiap orang, maka ditetapkan beberapa larangan:

Menghilangkan nyawa orang lain.

Hidup dan mati merupakan anugerah Tuhan Semesta Alam. Setiap orang pasti menghendaki kehidupan dengan tenang, aman. Pejabat Negara (pemerintah atau yang diberi kekuasaan oleh rakyat) dan rakyat tidak ada yang mengelak dari hak hidup itu. Selama statusnya sebagai manusia, maka selama itu pula akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga hidupnya. Alasan apapun yang dikemukakan oleh seseorang dalam rangka pembelaan diri berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan adalah untuk menjaga hidup. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Polri terhadap 6 orang anggota laskar FPI dimana pertimbangan yang mengemuka adalah untuk pembelaan atau melindungi diri. Hal serupa sebenarnya berlaku bagi anggota laskar FPI dimaksud. Mengapa bersiap mengawal HRS; alasannya untuk keamanan dan keselamatan; jadi sama-sama berusaha menyelematkan diri dari bahaya kehilangan nyawa.

Usaha melindungi diri adalah bagian dari perjuangan menjaga hak-hak hidup. Karena itu, Islam telah menegaskan kalau “mencabut/membunuh nyawa manusia adalah termasuk perbuatan yang mendatangkan dosa besar, sebab perbuatan itu dianggap sebagai melanggar hak-hak Allah swt. Wala taqtuluu al-nafs allatiy harrama Allah illa bi al-haq (Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar). Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pernyataan Nabi Muhammad: “membunuh orang lain adalah satu di antara tujuh perbuatan dosa yang dapat merusak dan membawa petaka”.

Riwayat lain, Nabi Muhammad menyatakan “barang siapa mengacungkan kepada saudaranya sebuah besi, maka para malaikat melaknatinya sampai dia meninggalkannya, meski dia adalah saudaranya seayah dan seibu”. Ini mengacungkan besi saja telah mendapat kecaman luar biasa, tentulah tujuan pelarangan ini menuju pada keselamatan nyawa setiap manusia. Bagaimana kalau senjata api dan bahkan telah dimuntahkan timah panas dan mengenai sasaran yang mengakibatkan melayangnya nyawa sesama. Tentu kepada siapa pun orang yang termasuk dalam riwayat ini apakah dari kalangan masyarakat sipil maupun keamanan, semua dituntut untuk saling menghormati dan menjaga. Prinsip inilah yang seyogyanya di kedepankan. Ada pesan dan amanah sila Pancasila; sebaiknya segala sesuatu harus dimusyawarahkan. Mencari mufakat merupakan langkah bijak menyelesaikan seluruh polemic yang melanda kehidupan bangsa ini.

Menghilangkan nyawa sendiri.

Islam juga telah melarang dengan keras agar setiap orang berusaha menjaga keselamatan dirinya sendiri. Di larang menghilangkan nyawa sendiri. Hal ini termasuk gantung diri, minum obat yang dapat menghilangkan nyawa. “Janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa: 29). Janganlah kamu membunuh dirimu dalam kebinasaan.

Oleh karena itu, agar terjadi keseimbangan dalam proses menjaga kelangsungan hidup nyawa manusia dari tindakan melanggar hak-hak Allah swt, maka dalam Islam di adakan sebuah upaya hukum yang disebut dengan “hukum qishash”, yang oleh sebagian manusia dianggap hukum yang tidak layak diterapkan karena melanggar HAM. Padahal justru adanya hukum tersebut untuk mencegat secara ketat adanya kebebasan menghilangkan nyawa seseorang dengan tanpa alasan yang dibenarkan. Pemberlakuan hukum qishash ini juga sebagai bagian dari upaya menempatkan martabat dan kehormatan manusia yang telah disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an surah al-Isra ayat 70 di atas.

Menyikapi polemik peristiwa pembunuhan yang hampir setiap saat terjadi (sengaja ataupun tidak, terencana ataupun tidak); patutlah dipahami bahwa nyawa yang bersama jasmani tidaklah ada begitu saja; bukanlah manusia sesamanya yang memasangkan sehingga jadilah jasad yang berjalan; tetapi semua adalah perbuatan dan kehendak Yang Maha Kuasa. Ketika ada benturan kehendak untuk membunuh dengan tidak adanya alasan yang dibenarkan oleh syara’, maka perbuatan itu telah berada di luar jangkauan hukum manusia. Maka sebaiknya diselesaikan dengan mengikuti norma agama. Kalau pihak pembunuh dengan alasan sebagai pembelaan, maka sebenarnya hal yang sama pun datang dari yang terbunuh.

Olehnya itu, saling tuding, hasut, menyebar fitnah dan kebencian, atau perilaku yang mengakibatkan lahirnya provokasi dan ketidak kondusifnya lingkungan hidup; akan lebih baik dijauhi dan dihindari bersama. Menjaga datangnya mafsadat wajib didahulukan dibanding dengan mengejar manfaat. Sebagai rakyat harus menjunjung tinggi peran dan tanggung jawab pemerintah serta memberikan kehormatan terbaik selama tidak diarahkan pada kemungkaran; agar dengan itu ada keberpihakan. Sebaliknya kepada para pemimpin janganlah bawa kekuasaan itu dengan tidak menggunakan panca indra; agar kekuasaan itu memberi manfaat dan kejayaan masyarakat yang dipimpinnya. Seburuk apapun kondisi rakyat, tugas dan tanggungjawab pemerintah adalah mengayominya dan memberikan solusi atas masalah keburukannya; bukan berusaha menjadikan sebagai lawan; kecuali ada indikasi menentang terhadap negara. Wallahul A’lam !

Penulis: Dr. Ahmadan B. Lamuri, S.Ag.,M.H.I. (Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan & Ketua Baznas Kota Palu)

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *