AL-QUR’AN MENYINGGUNG MASALAH ZAKAT

Oleh Ahmadan B. Lamuri
Setiap bulan Ramadhan tiba umat Islam ramai mendiskusikan tentang zakat. Seakan-akan masalah zakat ada ketika memasuki Ramadhan. Tapi jarang umat ini terlarut mendiskusikannya di luar dari bulan yang penuh kemuliaan ini. Tulisan ini hanya akan mengeksplorasi bagaimana al-Qur’an menyinggung masalah zakat tersebut.
Jika membaca konsep al-Qur’an tentang zakat, akan ditemukan lafaz tersebut dengan segala bentuknya terulang sebanyak 30 kali. Sebanyak 27 kali di antaranya disebutkan bersamaan dengan kata “shalat”. Sekalipun demikian bukan berarti penekanan kata zakat itu sudah tidak ada lagi. Misalnya pada surah al-Taubah ayat 60, Allah swt tidak menyebutkan secara langsung dengan zakat akan tetapi disebutkan dengan kata “sedekah”. Ayat inilah yang dalam kajian hukum Islam dijelaskan sebagai sedekah wajib itulah “zakat”.
Shalat itu sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, maka sesungguhnya sama esensinya dengan ajaran zakat. Ajaran shalat menitipkan kepada pelakunya untuk sepenuhnya menyerahkan seluruh hidupnya karena Allah swt, dimensi ilahiyahnya dan individunya lebih menonjol di bandingkan nilai lainnya. Tentu kalau shalat dimensi ilahiyah n individu digandengkan dengan kata zakat; itu pertanda bahwa zakat memiliki kesamaan dengan shalat walaupun jalur yang berbeda. Zakat lebih pada ibadah kebendaan, maka ini bukan dimensi ilahiyah yang ditampilkan, melainkan dimensi kemanusian yang bersifat universal. Artinya penggandengan penyebutan antara shalat dan zakat dengan jumlah yang seimbang menuntun kepada umat Islam bahwa hubungan vertikal belum di nyatakan lengkap apalagi sempurna apabila ibadah dalam dimensi kemanusian (sosial-humanisnya) belum diaplikasikan secara berimbang, yaitu menunaikan zakat.
Al-Qur’an menggandengkan shalat dengan zakat dari aspek hikmah: bahwa shalat menitipkan kepada pelakunya bukan semata-mata sebuah gerakan gymnastik yang dikerjakan lima kali sehari semalam, melainkan shalat itu mengingatkan untuk adanya pembaruan dan meningkatkan kepercayaan dan keimanannya kepada Allah swt; sikap pelaku shalat adalah menghidupkan prinsip-prinsip amanah, berlaku benar, menepati janji, serta membangun rasa solidaritas (salam). Adapun mengeluarkan zakat merupakan ajaran pemaksaan melalui firman-Nya pada surah al-Taubah ayat 103 yang menuntut supaya sebagian orang Islam yang telah memiliki harta itu merasakan kewajiban tolong menolong (gotong royong) sekaligus mewajibkan kepada mereka untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah sosial; sebagaimana secara individu telah menyelesaikan masalahnya dengan Allah swt melalui rutinitas ibadah shalat. Kewajiban zakat menjadi sarana mewujudkan ketenteraman dan kestabilan hidup masyarakat dan menjadi gunting pemutus adanya kecemburuan sosial.
Zakat ajaran yang mendidik seorang pemilik harta untuk tidak boleh hidup merasa sombong dengan kekayaan yang dimilikinya. Al-Qur’an juga sering mengingatkan kepada manusia bahwa harta sebanyak apapun itu pada hakikatnya bukanlah anda sebagai pemilik melainkan Allah swt. Ketika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagiannya itu artinya yang merasa sebagai pemilik sementara harus sadar bahwa zakat menuntunnya bukan sekedar sebuah penyelesaian kewajiban akan tetapi agar terbangunnya rasa solidaritas sosial bersama. Hanya dengan hidup yang dibangun seperti itulah yang akan mampu membangun ketenteraman dan kedamaian dalam hidup yang pluralis seperti yang ada dilingkup kehidupan kita saat ini.
Allah swt sebagai pemilik sesungguhnya atas harta yang dimiliki manusia telah menetapkan suatu ancaman keras sebagaimana dalam surah Ali Imran: 180 yang artinya “Sekali-kali janganlah orang-orang yang kikir dengan apa yang Allah anugerahkan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa ia baik bagi mereka. Sebenarnya ia buruk bagi mereka. Apa yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan dileher mereka pada Hari Kiamat. Dan milik Allah lah segala warisan (yang) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Di sisi lain al-Qur’an juga telah mengingatkan bahwa manusia kadang memang kikir dengan harta yang dimiliki disebabkan oleh “harta dianggapnya merupakan perhiasan kehidupan dunianya yaitu bagi mereka yang tertipu dengannya dan mereka yang melupakan adanya balasan di hari akhirat nanti.
Al-Qur’an juga telah menampilkan kisah-kisah menakutkan dari mereka yang merasa berkuasa dengan kekayaan yang dimiliknya. Kisah Qarun dan kelompoknya, kisah Tsa’labah sahabat Rasul, dan masih ada kisah lainnya. Kesemuanya memberikan pelajaran bahwa harta yang bergelimpangan, berlebihan, berharga, semua tidak memiliki nilai kebaikan bagi pemilik yang mempunyai sifat kikir atas harta yang diperolehnya. Harta yang dimilikinya pun tidak dapat memberi pertolongan terhadap keselamatan dunia akhir.
Oleh sebab itu, masalah zakat sebenarnya bukanlah sebagai serimoni kewajiban yang datangnya dari Allah swt, tetapi dibalik kewajiban tersebut Allah swt ingin mengingatkan bahwa manusia itu hidup tidak sendirian dan selalu bersama dengan yang lainnya. Kebersamaan itu akan semakin bernilai jika ada rasa saling menutupi kebutuhan. Kebutuhan dan kewajiban yang bersifat pribadi telah ditunaikan, tetapi ada kewajiban yang bersifat jama’i (kolektif) yang bisa dibangun melalui harta yang dimiliknya. Camkan bahwa seberapa banyak pun harta yang dipunyai manusia, mereka bukanlah pemilik yang sebenarnya, melainkan hanya pemegang amanah.
Manusia hanya diberi mandat dan kekuasaan memanfaatkannya sekaligus mendistribusikannya kepada yang berhak (QS. Al-Hadid:7). Ahli tafsir al-Zamakhsyari dan al-Razi memahami pesan ayat tersebut dengan menganggap orang kaya sebagai pemilik harta sementara dan hanya sebagai penjaga gudang-gudang Allah. Sedangkan orang fakir dan miskin sebagai keluarga Allah. Olehnya harta yang ada di tangan penjaga (orang kaya) diperintahkan oleh pemiliknya untuk dibelanjakan dari sebagian isi gudang itu untuk keperluan orang-orang yang membutuhkan dari keluargaKu.
Al-Qur’an telah menempatkan kedudukan zakat sama dengan shalat; al-Qur’an juga telah menyinggung kepemilikan harta sebagai sebuah amanah yang harus di pertanggung jawabkan. Cara agar selamat dari harta adalah membelanjakannya di jalan Allah; ingatlah dalam harta ada hak-hak orang yang membutuhkan; tunaikanlah melalui zakat. Semoga dengan zakat hidup akan penuh keberkahan. Wallahul A’lam bi al-Shawab!
Penulis : Dosen Universitas Alkhairaat/Ketua Baznas Kota Palu