Silaturrahim Rohani (Refleksi Halal bi Halal Virtual Sivitas Akademika Unisa Palu)

Oleh: H.Haerolah, Muh. Arief
Dalam suasana pandemi Covid-19, Keluarga besar Universitas Alkhairaat (Unisa), larut dalam suasana penuh kekeluargaan, suka, canda, tawa hingga air mata kebahagian melebur dalam suasana yang dikemas dalam bingkai halal bi halal virtual. Walau hanya dalam dunia maya, Kegiatan terasa dalam dunia nyata, khidmat dan penuh rasa kekeluargaan diselingi canda tawa apalagi saat pembawa tausyiah dan host acara itu tiba-tiba menghilang dari layar kaca. Hehe.
Merefleksikan hikmah halal bi halal yang disampaikan ustadz senior Dr. H. Abd. Gafar Mallo, M.HI, yang juga Dekan Fakultas Agama Islam (FAI), UNISA, penulis memaknainya dengan “Silaturrahim Rohani”.
Pada bagian akhir surah Al-Ra’d ayat 23, Allah Swt. menceritakan hamba-hamba-Nya yang beruntung karena mereka diberi anugrah untuk masuk syurga beserta orang tua, istri, keluarga dan keturunannya. Al-Qur’an melukiskan, para malaikat memberikan sambutan khusus pada mereka seraya mengucapkan, “salaamun ‘alaikum bimaa shabartum fani’ma ‘uqbaddaar”. Artinya, Selamatlah bagi kalian semua lantaran kalian bersabar dahulu. Inilah tempat kalian kembali yang paling indah bagi kalian. (Q.S. Al-Ra’d; 24).
Silaturrahim yang sering kita adakan di dunia adalah pertemuan yang dibatasi ruang dan waktu (baik langsung maupun virtual online). Kita hanya dapat berkumpul dengan orang-orang yang berada dalam satu tempat dan satu zaman dengan kita, tidak bisa bersilaturrahim dengan orang tua kita yang sudah meninggal atau keturunan kita yang belum lahir. Tetapi nanti di akhirat ada orang yang bisa melakukannya. Al-Qur’an menyebutnya: “aabaa’ihim wa azwaajihim wa dzurriyaatihim; nenek moyangnya, pasangan-pasanganya dan anak cucunya.
Siapakah gerangan keluarga yang beruntung itu? Dalam Q.S. Ar-Ra’d ayat 21 disebutkan bahwa salah satu tandanya ialah orang yang di dunianya senang menyambung silaturrahim. “walladzina yasiluuna maa amarallahu bihi an yuusala”. Yaitu orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.
Kemudian dengan siapa kita seharusnya menyambungkan silaturrahim itu? Al-Qur’an menyebutkan dengan Al-Qurbaa (keluarga yang dekat). Keluarga yang dihubungkan melalui pertalian rahim. Keluarga disebut al-rahim karena dipertalikan lewat hubungan darah dan melalui rahim yang sama. Al-Qur’an juga menyebutkan, silaturrahim merupakan perintah kedua seltelah perintah taqwa. “Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, yang dengan nama-Nya kami saling memohon dan peliharalah silaturrahim” (Q.S. al-Nisaa’: 1)
Namun, tidak semua yang behubungan nasab itu keluarga. Contohnya kisah Nabi Nuh as. dengan anaknya, Kan’an. Umat Nabi Nuh as., adalah umat yang diazab oleh Allah dengan bencana air bah. Ketika banjir berubah jadi lautan, Nabi Nuh as.,bersama sedikit pengikutnya sudah berada di dalam perahu yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh beliau.
Di lain sisi, anaknya justru pergi mendaki gunung untuk mencari perlindungan agar tidak terkena banjir dan tidak mau bergabung di dalam kapal bersama ayahnya. Al-Qur’an menggambarkan ketika itu Nabi Nuh as. tetap mengajak anaknya untuk naik perahu bersamanya. “hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir”. (QS. Hud:41) Tapi apa jawab anak itu: “aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkanku dari air bah”. (QS. Huud:43)
Ketika melihat anaknya tenggelam, jiwa kebapakan seorang Nabi Nuh as., muncul. Saat itu perasaan kasih seorang ayah kepada anaknya menyentuh kalbu beliau dan menyeruak keluar untuk diungkapkan. Nabi Nuh as. bermohon: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau yang benar, Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya”. (QS. Huud:45) Akan tetapi permohonan Nabi Nuh as., dijawab secara tegas oleh Allah: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu” (QS. Huud:46).
Apakah alasan Allah mengklaim anak itu bukan keluarga Nabi Nuh as.? ayat selanjutnya menjelaskan: “Sesungguhnya perbuatannya, perbuatan yang tidak baik, sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Huud:46)
Kisah ini setidaknya memberi pelajaran, Allah tidak hanya mengajarkan tentang makna persaudaraan, tetapi juga mendidik tentang hakikat persaudaraan. Walaupun Kan’an anak seorang Nabi tapi karena keyakinannya berbeda, oleh Allah dipisahkan dengan keluarga ayahnya. Sebaliknya para pengikut Nabi Nuh as., yang tidak memiliki hubungan darah dengannya, tapi karena sama keyakinan dan akidahnya, maka mereka semua diselamatkan oleh Allah bersama Nabi Nuh as., dalam sebuah bahtera atau kapal pertama yang menjadi catatan fenomel sepanjang sejarah.
Dalam konteks ke-Alkhairaat-an, khususnya UNISA dengan slogannya “Membangun Akhlak al-Kariimah”, yang didirikan langsung oleh GURU TUA, jika seluruh civitas akademiknya satu visi dan tujuan, tidak melenceng dari khittah Guru Tua, maka mereka inilah yang dimaksud Guru Tua dengan “Abna’ alkhairaat”. Wallahu A’lam.
Penulis : Wakil Dekan II Fakultas Agama Islam Unisa Palu