KEDAULATAN PEMILIH DISITUASI BENCANA NONALAM

Oleh : Idrus
Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, sedangkan bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sehingga pendemi covid 19 termasuk bencana nonalam.
Karena bencana merubah tatanan kehidupan normal pada semua sendi kehidupan, sosial, politik, ekonomi termasuk tahapan pemilihan, dimana dari situasi normal menuju tidak normal. Situasi tidak normal kemudian di wacanakan menjadi new normal (normal baru). New normal didorong menjadi wacana hidup dalam situasi pendemi dengan tetap waspada dan patuh pada standart covid 19 sampai situasi normal atau ditemukannya vaksin. Beberapa wacana lainnya di sebut hidup bersahabat dengan pendemi sebagai pilihan di tengah ancaman krisis ekonomi, krisis ketahanan pangan, termasuk juga ancaman atas kedaulatan pemilih.
Pemilih adalah rakyat, tidak semua rakyat bisa memilih. Kedaulatan rakyat dimaknai sumber segala kekuasaan negara berasal dari kedaulatan rakyat, karena tanpa ada pemberian kedaulatan rakyat maka negara tidak memiliki kekuasaan. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut uu. (UUD1945 pasal 1 ayat 2 pasca amandemen).
Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat (Jean Bodin 1530 – 1596) teori ini berusaha mengimbangi kekuasaan tunggal raja pada masa itu. Jika dikaitkan dengan pemilih substansi kedaulatan rakyat juga adalah kedaulatan pemilih dimana pemilih memiliki kekuasaan, kebebasan, untuk berfikir dan bertindak serta memutuskan pilihan dalam memilih perwakilan ataupun pemimpinnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, olehnya kedaulatan pemilih seyogyanya harus di jaga dan dilindungi.
Menjaga dan melindungi melalui pelaku-pelaku antara lain : individu, pemerintah, organisasi (oms,partai,timses), penyelenggara, lembaga pendidikan. Fokus perlindungan itu tentu terhadap siklus pemilihan. Siklus pemilihan tersebut sebelum pemilihan, saat dan setelah pemilihan adalah rangkaian yang tidak boleh terputus, sama dengan usaha untuk menjaga dan melindungi kedaulatan pemilih secara terus menerus. Yang membedakan adalah porsi dan peran pelaku pada masing-masing siklusnya.
Memotret kedaulatan pemilihan pada saat pemilihan : gerakan coklit, pencalonan, kampanye, bimtek, sosialisasi, pemungutan suara, rekapitulasi, sengketa PHP. Dalam hubungannya dengan standar hak keselamatan COVID 19, misal bekerja dari rumah, bekerja di kantor dengan mengatur jadwal shif, ketersediaan alat pengukuran suhu tubuh, alat pelindung diri, membudayakan hidup sehat dan bersih, sarana cuci tangan, physical distancing, kampanye phbs dan ctps, pembentukan gugus tugas, dukungan sarana & prasarana pemilihan.
Penulis berpandangan penggunaan hak pilih dalam sejarahnya pada tahun 1955 sampaidengan 1999 saat itu pemilih tidak menggenggam penuh kedaulatannya karena sistem perwakilan (pemilu presiden). Tahun 2004 sampaidengan 2019 pemilih menggenggam penuh dan utuh kedaulatannya (pemilu presiden). Sejarah lainnya mencatat tahun 2008 adalah awal baru kedaulatan pemilih dengan juga tercermin dari ruang calon perseorangan diberikan dukungan untuk ikut berkontestasi, walaupun terbatas sebab harus memenuhi syarat berliku sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon.
Tahun 2005 sampai 2020 kedaulatan pemilih dalam genggaman penuh pada pilkada/pemilihan serentak yang dilaksanakan secara langsung yakni pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan walikota. Termaktub dalam uu 32/2004 tentang pemerintahan daerah.
Dalam praktik menjaga kedaulatan pemiih dibatasi oleh hak dan kewajiban yang diatur oleh undang-undang. Misalnya fase sebelum pemilihan individu berkewajiban berpartisipasi dalam proses pembentukan partai, mengetahui visi & misi partai/organisasi, penyusunan struktur partai/organisasi agar individu mengetahui proses yang terjadi sagar tidak latah atas kegiatan partai dan organisasinya.
Praktik lain pemerintah berkewajiban juga menjaga kedaulatan pemilih pada fase sebelum pemilihan missal, proses pemenuhan administrasi dengan menfasilitasi warga untuk memiliki e-ktp, buku nikah sebagai syarat masuk daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemilihan, tugas lainnya menyiapan dp4 bagi penyelenggara sebagai basis data sebelum di tetapkan menjadi DPT.
Pada fase pemilihan, fungsi pelaku dalam hal ini penyelenggara sangat strategis dalam menjaga kedaulatan pemilih misalnya pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih (jumlah pemilih setiap tps maksimal 500 guna memudahkan dalam mengatur pemilih dalam mencoblos karena kondisi pendem covid 19, pencocokan dan penelitian data pemilih oleh ppdp dengan menggunakan masker, hand sanitizer, sarung tangan, pelindung wajah, serta dukungan vitamin untuk menjaga dan menaikkan sistem imun. Begitu juga pencalonan dengan metode sensus tatap muka langsung dan via aplikasi videocall, kampanye daring, kegiatan sosialisasi dan bimtek via daring, tatap muka berjarak.
Pemungutan suara dimana setiap tps akan disiapkan alat pengukur suhu tubuh, sarana cpts, jaga jarak, alat pencoblosan sekali pakai, APD bagi petugas KPPS, untuk pemilih tetap memakai masker. Rekapitulasi dan penetapan perolehan suara dengan mengatur jumlah peserta pleno. Saat sengketa PHP yakni posisi lembaga peradilan dalam memutuskan menjadi sangat strategis guna menjaga kedaulatan pemilih melalui keputusan yang seadil-adilnya.
Fase setelah pemilihan, misalnya DPR , DPD, DPRD, presiden/gubernur/bupati/walikota terpilih tentu bagaimana janji kampanye, visi dan misi dikawal oleh pemilih maupun organisasi masyarakat sipil, lembaga pendidikan (kampus). Media control atas kedaulatan pemilih melalui forum-forum diskusi serta hasilnya di share kesemua saluran. bukankah ini era digital dimasa akses menjadi cepat dan mudah serta berbiaya murah. Pada fase ini juga mereka yang terpilih memiliki kewajiban memenuhi janji dan menyusun program yang pro terhadap kesejahteraan dan tegakkan keadilan sebagai bagian dari memberikan kedaulatan kembali kepada rakyat.
Tantangan yang akan di hadapi perilaku pemilih apatis dan pragmatis, konspirasi oknum elit dan pengusaha, terjebak dalam politik transaksional, manajemen masih tradisional mengelola organisasi, penyaringan informasi bohong tidak terkendali, pengetahuan karena pendidikan politik minim, edukasi yang belum menjangkau ke pemilih pinggiran, akses jaringan terbatas.
Olehnya pilihan-pilihan yang harus dilakukan penegakan aturan termasuk regulasi baru yang melek teknologi, desiminasi informasi pada semua saluran, manajemen yang adaptasi teknologi dan fokus pendidikan pemilih dengan konten menarik/unik, pelayanan dengan mendekatkan akses pemilih, peduli pada kelompok rentan (pesisir, perempuan, disabilitas, orang sakit/covid 19, warga binaan lapas/rutan), dan saatnya untuk terus mendorong organisasi-organisasi memiliki manajemen yang modern.
Penulis adalah Komisioner KPU Kota Palu