SEBAIK-BAIKNYA KEKUASAAN

SEBAIK-BAIKNYA KEKUASAAN

Perebutan kursi kepemimpinan daerah saat ini ramai didiskusikan. Tentu siapapun yang memiliki kemampuan, tidak ada yang menghalanginya ikut berkompetisi melalui pemilukada. Namun sebuah kepastian bahwa setiap orang yang telah resmi menjadi paslon akan berusaha semaksimal mungkin melakukan langkah-langkah pencapain.

Adanya kasus tangkap tangan secara langsung terhadap beberapa pejabat Negara dan kepala daerah karena suap dan korupsi, tidak menyurutkan paslon yang ada untuk mengikuti tahapan pemilihan. Begitu besarnya magnet kekuasaan, sehingga setiap menjelang pemilihan selalu menjadi perhatian serius. Tetapi masyarakat umumnya hanya mengharapkan dari pemilihan lahir pelaksanaan kekuasaan yang memberi manfaat besar bagi kehidupan bermasyarakat.

Tulisan ini sekedar meneruskan sebuah riwayat ada seorang lelaki duduk di samping baginda Rasul, kemudian lelaki itu berkata “Seburuk-buruk perkara itu adalah kekuasaan; selanjutnya Rasulullah menanggapi ungkapannya dan melanjutkan kalimat itu: sebaik-baik perkara itu adalah kekuasaan bagi orang yang memegangnya dengan baik dan sesuai haknya; dan seburuk-buruk perkara itu adalah kepemimpinan bagi orang yang memegangnya tidak berdasarkan kepada haknya dan bukan dengan cara yang baik”.

Kekuasaan itu Perkara Buruk

Seburuk-buruk perkara itu adalah kekuasaan. Mungkin lelaki itu memahami kekuasaan dengan kesaksiannya dalam suatu Negara dan masyarakat dimana kekuasaan lebih banyak memberi mudharat, baik pada pemangkunya maupun kepada masyarakatnya. Di era saat ini, bisa disaksikan dengan nyata; kadang kekuasaan justru membuat masyarakat tidak nyaman. Kekuasaan laksana raksasa yang setiap saat siap menyantap siapapun yang ada di sekitarnya apalagi kelompok yang dianggap bisa meruntuhkannya. Akibatnya apa, system politik dan demokrasi tidak berjalan bagus. Bahkan (kalau di Indonesia) terasa mencekam menghadapi kekuasaan. Sehingga wajar jika kekuasaan itu dipahami sebagai suatu perkara buruk. Berarti tersirat pesan “sebaik-baik langkah manusia menghadapi kekuasaan adalah menghindarinya”.

Pemahaman negative dari kekuasaan telah banyak digambarkan oleh para tokoh pemikir dan termasuk salah seorang pegiat demokrasi dan pemilu seperti Dr. Kasman Jaya Saad dalam bukunya “The Power to Love” bahwa kekuasaan itu sekedar menuntut ketergantungan, mengendalikan, dan apabila ingin mendapat simpati akan tergantung pada taktik yang dilakukannya; sehingga ketika kekuasaan itu di salah gunakan, maka kekuasaan itu menjadi suatu kedzaliman. Beliau mengkritik mengapa begitu banyak pemimpin atau kepala daerah sering terperangkap dengan perilaku yang rendah: menjadi angkuh, gampang marah, boros, dan serakah; karena orang hanya berlomba mengejar jabatan hanya karena sebuah kekuasaan, kekayaan, dan fasilitas.

Sebagai contoh, ketika pejabat Negara dan daerah kena OTT oleh KPK dan ditetapkan sebagai tersangka; rakyat dan masyarakat bertanya memangnya seberapa besar gaji yang diperolehnya, sampai mereka harus korupsi, suap menyuap. Sebenarnya sebab semua itu bukan karena rendahnya gaji alias pendapatan sebagai seorang pejabat Negara dan daerah; tetapi rendahnya moralitas kepribadian dan negatifnya memahami kekuasaan yang berada digenggamannya. Sekiranya kekuasaan itu dipahami sebagai sarana membangun kedamaian dan kesejahteraan bersama, maka kekuasaan itu nilainya positif. Kekuasaan dijadikan sarana bertindak semaunya; segala kebijakan yang mengarah pada memperkaya diri atau menginginkan fasilitas yang banyak pula menjadi suatu kesempatan. Jadilah kekuasaan itu buruk dan sewaktu-waktu menjadi bom waktu lahirnya kehancuran.

Kekuasaan itu Perkara Baik.

Sebaliknya, setelah Rasulullah mendengar cuitan lelaki yang duduk di sampingnya itu seperti kalimat di atas, maka Rasulullah menyambung ungkapannya “sebaik-baik perkara adalah kekuasaan bagi orang yang memegangnya dengan baik dan sesuai dengan haknya”.

Sebenarnya bila di pahami dari pernyataan Rasul ini mengindikasikan kalau kekuasaan itu sesuatu yang baik dan kebaikan itu akan tergantung pada pemegang kekuasaan itu sendiri. Sudut pandang baiknya kekuasaan bila kekuasaan bukan sebagai tujuan bagi yang menginginkannya, melainkan dijadikan sebagai media terbangunnya masyarakat yang berkedamaian, keadilan, dan sejahtera bersama. Kekuasaan yang dimaksudkan ini terlaksana apabila kekuasaan itu didasari atas sikap: shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Siapapun yang mengendalikan kekuasaan atau di tangannya kekuasaan itu kemudian yang bersangkutan sarat akan empat sifat tersebut, maka diyakini kekuasaan itu akan menjadi perkara yang baik bahkan terbaik. Catatan sejarah telah membuktikan bahwa kesuksesan Nabi Muhammad sebagai kepala Negara, agama, suku, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia karena empat sifat itu melekat padanya dan diimplementasikan pada pelaksanaan tugas sesuai tuntutan sifat tersebut.

Tetapi kekuasaan yang baik juga harus didasarkan pada haknya. Kalau saat ini dalam rangka pelaksanaan pemilukada dimana antar sesama kandidat berusaha dan berjuang meraih impiannya; diharapkan siapapun yang menjadi pemenangnya seyogyanya memang kemenangannya benar-benar sesuai ketentuan yang berlaku; sehingga itu benar-benar menjadi haknya. Menjelang waktu pemilihan, hampir dipastikan semua yang berkepentingan meraih sukses mencari cara agar menjadi pemenang. Nah disinilah biasanya muncul ide dan taktik yang beragam. Termasuk upaya menghalalkan segala cara dengan target asalkan menang. Apabila kemenangan yang diraihnya disebabkan oleh menghalalkan segala macam cara, maka kekuasaan yang didapati hakikatnya bukanlah haknya. Inilah pesan tersirat dari pernyataan baginda Nabi Muhammad saw.

Kalau memahami makna kekuasaan berdasarkan pada Kamus, maka kekuasaan yang asal katanya dari kuasa sebenarnya mengandung banyak makna: kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, charisma, atau juga kekuasaan fisik; kaitannya dengan hukum dipahami sebagai fungsi menciptakan dan memantapkan kedamaian atau keadilan serta berusaha mencegah ketidak adilan. Seluruh makna tersebut tidak ada yang memiliki konotasi negative.

Jika sang lelaki dalam riwayat itu menilai kekuasaan seperti yang dijelaskannya, maka kemungkinan kekuasaan yang dimaksudkannya itu diidentikan dengan politik, kedudukan dan jabatan, bahkan kekuasaan erat dengan harta kekayaan atau fasilitas. Sehingga sangat wajar ketika Kasman Jaya Saad menegaskan semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin banyak fasilitas yang didapatkan. Pernyataan ini tidak salah dan memang kenyataannya demikian, hampir tidak bisa di pungkiri kalau semakin tinggi kedudukan dan jabatan seseorang fasilitas pun semakin banyak.

Oleh sebab itu, kekuasaan itu sesuatu yang membawa banyak problem apabila dipegang oleh yang tidak memiliki sifat shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Akan tetapi ketika kekuasaan itu ada pada manusia yang kaya akan akhlak terpuji dan memahami benar bahwa semua itu merupakan sarana dan jalan semata meraih keberkahan hidup masyarakat bersama, maka kekuasaan itu akan selalu memberi manfaat dan kemaslahatan. Perlu untuk dicamkan bahwa kekuasaan sebagai bagian dari urusan kepemimpinan, maka Nabi Muhammad telah mengingatkan dalam sebuah riwayat dari Muslim “merupakan kehinaan dan penyesalan kecuali siapa yang menerimanya sesuai dengan haknya serta melaksanakannya”.

Semoga pemilihan kepala daerah akan melahirkan pemimpin yang memahami benar arti sebuah kekuasaan dan akhirnya mengamalkannya untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur”. Masyarakat dan daerah yang selalu dalam keberkahan dan lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Wallahul A’lam !

Penulis: Dr. Ahmadan B. Lamuri, S.Ag.,M.H.I.

(Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan Universitas Alkhairaat Palu & Ketua Baznas Kota Palu)

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *