Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Oleh: dr. Nur Rafni Rafid, Sp.FM*

Kekerasan seksual terhadap anak atau child sexual abuse (CSA) didefinisikan sebagai pelecehan pada anak oleh orang dewasa yang memanfaatkan anak-anak untuk stimulasi seksual. Perilaku tersebut dapat dilakukan baik dengan menyentuh secara langsung maupun secara tidak langsung. Perilaku seksual tanpa menyentuh secara langsung meliputi melihat anak tanpa busana (voyeurisme), memamerkan kemaluan kepada anak (ekshibisionisme), atau melibatkan anak-anak pada konten pornografi.

Sedangkan, kekerasan seksual dengan menyentuh/meraba area sensual atau mencium dengan paksaan atau tanpa keinginan korban. Kekerasan seksual terhadap anak merupakan masalah serius yang dapat berdampak pada kesehatan fisik, psikologis, dan sosial korban. Selain itu, kekerasan seksual terhadap anak juga akan meningkatkan risiko korban untuk menjadi pelaku kejahatan seksual di kemudian hari saat beranjak dewasa.

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan anak di seluruh dunia. Prevalensi kasus kekerasan seksual terhadap anak menurut Stoltenborgh et al tahun 2011 adalah sebesar 12,7%. Di Indonesia, angka kejadian kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2021 mencapai 8.730 kasus. Namun, jumlah kasus yang sesungguhnya diperkirakan jauh lebih banyak karena banyak korban yang tidak melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialami. Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak juga menunjukkan tren yang meningkat sejak tahun 2019. Hal ini dikarenakan korban semakin sadar mengenai keharusan melaporkan kasus tersebut. Data pada tahun 2019 dan 2020 menunjukkan angka kasus sebesar 6.454 dan 6.950 kasus berturut-turut. Namun, perlu diketahui bahwa angka kasus yang sesungguhnya jauh di atas angka tersebut karena banyak korban yang tidak berani bercerita atau bahkan melaporkan kepada pihak yang berwenang.

Beberapa faktor berperan penting dalam meningkatkan resiko seseorang menjadi korban kekerasan seksual terhadap anak, meliputi;

Jenis kelamin: perempuan memiliki risiko lebih tinggi 2,5-3 kali lipat dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Namun, hal ini tidak selalu sejalan di seluruh tempat dengan angka pelecehan lebih tinggi terhadap anak laki-laki di institusi agama.

Usia: Risiko pelecehan seksual meningkat seiring bertambahnya umur anak dengan sepertiga kasus terjadi pada anak usia 12 tahun atau lebih, dan seperempat kasus terjadi pada usia 8-11 tahun.

Disabilitas: disabilitas fisik, intelektual, dan mental meningkatkan risiko anak menjadi korban kejahatan seksual terhadap anak. Hal ini didasarkan pada ketidakmampuan anak dengan disabilitas untuk melawan, mempersepsikan kejahatan, dan melaporkan kejadian kepada orang terdekat. Selain itu, disabilitas juga meningkatkan kerentanan anak karena terasosiasi dengan ketergantungan, pengasuhan berkelompok dalam institusi, dan kesulitan

Sosioekonomi: kasus kejahatan seksual terhadap anak ini dilaporkan lebih banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan status sosioekonomi yang rendah. Hal ini karena kesadaran kelompok tersebut yang rendah terhadap kasus ini dan tingginya risiko penelantaran anak pada kelompok tersebut.

Keluarga: kondisi keluarga tanpa orang tua (salah satu atau keduanya), ketidak-fungsian orangtua (disabilitas atau alkoholisme), atau isolasi sosial keluarga akan meningkatkan risiko seorang anak menjadi korban kejahatan seksual.

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual, seringkali tidak berani atau tidak mampu untuk melaporkan kejadian kepada orang terdekat. Oleh karena itu, keluarga perlu mengetahui ciri-ciri perubahan perilaku anak yang menjadi korban kekerasan seksual ini, yaitu; menunjukkan gejala takut, cemas, atau depresi, terutama ketika bertemu orang dengan ciri tertentu yang mirip dengan pelaku, menjadi lebih pendiam atau menjaga jarak, menangis tanpa sebab yang jelas, menunjukkan gejala marah atau melakukan agresi tanpa sebab yang jelas, sering mengalami mimpi buruk dan mengeluh nyeri pada area tertentu, khususnya area yang sering menjadi target pelecehan

Selain perubahan perilaku, bukti kekerasan fisik juga dapat dilihat, terutama jika jarak waktu kejadian belum terlalu lama. Ciri-ciri fisik yang dapat ditemukan pada korban kejahatan seksual pada anak, meliputi; bengkak dan kemerahan pada area kemaluan, nyeri saat pergi ke toilet, kesulitan duduk atau berjalan, memar pada area-area seperti paha atau bokong, gejala-gejala infeksi saluran kemih seperti nyeri saat buang air kecil dan gejala-gejala penyakit menular seksual.

Perilaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu tindak pidana yang melanggar undang-undang perlindungan anak yaitu UU No.35 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana bagi pelaku, secara spesifik berupa persetubuhan, tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2002, pasal 81 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ayat (2) Ketentutan pasal 81 ayat (1) tersebut juga berlaku pada orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, kebohongan, atau jebakan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya maupun orang lain. Ayat (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 7

Selain persetubuhan, ancaman pidana bagi pelaku tindakan cabul terhadap anak tertuang pada pasal 82 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ayat (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.7

Bagi Anda yang memiliki keluarga atau orang terdekat yang menunjukkan gejala dan ciri-ciri korban kekerasan seksual terhadap anak, cobalah menanyakan anak tersebut untuk kemungkinan ke arah korban pelecehan seksual dan kemungkinan pelaku. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa cara menanyakan hal tersebut mungkin akan memicu rasa takut anak sehingga diperlukan cara yang lebih halus. Selain itu, segera cari hal-hal yang mungkin dapat menjadi bukti kasus kekerasan seksual terhadap anak, seperti ciri-ciri fisik yang telah disebutkan di atas. Selain itu, pertimbangkan adanya sisa cairan khususnya mani di area kemaluan. Segera hubungi kepolisian agar dapat dilakukan pemeriksaan dan tindakan lanjutan. Semakin cepat pemeriksaan dan tindak lanjut akan semakin baik karena bukti-bukti akan semakin memudar dengan berjalannya waktu. Jika anak mengalami trauma psikis, segeralah minta pertolongan kepada dokter psikiatri atau psikolog anak untuk membantu memulihkan kondisi anak.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat.

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *