KELOMPOK MANUSIA BERUNTUNG (I’tibar Terhadap Penciptaan Waktu)
Oleh: Dr. Ahmadan B. Lamuri, S. Ag.,M.HI.*
Saat ini kita telah berada di awal tahun 2024 Miladiyah. Kesibukan mempersiapkan diri menyambut datangnya tahun baru dengan aneka persiapan pun telah usai. Tinggalah kenangan untuk tahun sebelumnya dan sebuah harapan untuk tahun ini.
Berakhirnya tahun dan menjelang datangnya tahun baru pada prinsipnya bagian dari diskusi tentang waktu atau masa. Waktu dalam konsepsi al-Qur’an dapat ditemukan dalam ragam ungkapan, misalnya: ajal; dahr; waqt; ashr; dan lainnya. Istilah-istilah tersebut memiliki pemaknaan yang berbeda. Tetapi pesan utamanya bahwa hidup manusia tidak akan pernah keluar dari lingkaran kekuasaannya dan selalu mengikat setiap langkah gerak manusia.
Ajal menekankan pada kita bahwa setiap umat itu ada batas akhirnya dan pasti akan mengalaminya. Walaupun batas akhir dimaksud tidak ada yang mengetahuinya, tetapi itu sesuatu yang pasti akan terjadi. Ketika masa akhir itu telah tiba dan menimpa kepada umat, maka berakhirlah seluruh rangkaian kehidupannya. Setiap umat mempunyai ajal dan apabila ajal itu telah tiba mereka tidak dapat menunda atau memajukan (Q.S. Yunus: 49).
Dahr maksudnya suatu waktu yang berkepanjangan yang dilalui oleh alam raya ini beserta isinya yang dimulai sejak awal penciptaannya sampai berakhirnya seluruh kehidupan di alam raya ini. Al-Dahr adalah waktu yang terus menerus berlangsung di saat siang dan malam silih berganti. Informasi mengenai istilah ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surah al-Insan ayat 1 dan al-Jatsiyah ayat 24.
Waqt adalah istilah yang digunakan oleh al-Qur’an dengan maksud memberikan batas akhir; kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Ketika al-Qur’an menggunakan kata waqt berarti penekanannya pada kadar tertentu yang ditujukan sebagai batas akhir dari suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal ini seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 103: Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.
Ashr kata ini menunjukkan waktu menjelang terbenamnya matahari; atau makna mutlaknya sebagai masa-masa yang selalu bersama manusia dalam hidupnya. Siapa yang tidak menggunakannya sejak masih kecil, masa mudanya, dan tiba waktunya di masa tua (senja) barulah penyesalan akan datang. Memang penyesalan tidak akan pernah datang di waktu pagi dan awal masuknya waktu, melainkan ketika waktu itu telah berakhir. Al-Qur’an surah al-Ashr telah jelas menginformasikan tentang hal itu.
Kondisi dan waktu bagaimanapun, sebenarnya tidak ada di antara manusia yang mau merugi dan sia-sia; melainkan tetap menghendaki kemanfaatan. Hanya saja dengan membaca dan memperhatikan pernyataan Allah swt seperti dijelaskan dalam surah al-Ashr bahwa perputaran waktu itu banyak menyisahkan kerugian bagi manusia. Perputaran waktu begitu cepat dan saatnya terlewati tidak akan pernah kembali mendatangi manusia lagi. Kalaupun datangnya yang baru dipastikan pula kesempatan untuk menikmatinya semakin singkat.
Apakah semua manusia merugi?
Ternyata tidak semua manusia merugi ketika bersamanya dengan waktu. Penjelasan dari Allah swt bahwa ada di antara manusia yang dinilai sangat berhasil memanfaatkan waktu sebagaimana disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 190. Ayat ini menginformasikan bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi; serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah swt) bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab)”. Orang berakal dimaksud pada ayat ini adalah “orang-orang yang selalu mengingat Allah swt sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, Lindungi kami dari azab neraka”.
Siapakah yang dimaksud Ulul Albab?
Ulul Albab telah disebutkan dalam al-Al-Qur’an lebih dari sepuluh kali. Istilah ini terdiri dari dua kata yakni: ulu dan al-Albab. Kata ulu diartikan dengan “yang mempunyai”, sedangkan kata al-Albab memiliki ragam makna; tetapi yang sering dipahami secara umum adalah orang-orang yang berakal. Dalam beberapa referensi kata Ulul Albab selalu dikaitkan dengan: pikiran, perasaan, daya pikir, tilikan, pemahaman, dan kebijaksanaan. Dari kandungan makna seperti ini, maka Ulul Albab itu adalah manusia yang mempunyai akal yang tajam. Mungkin pemaknaan ini disebabkan juga adanya kalimat yang menggunakan akal secara langsung; misalnya: terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 44 yang memberikan gambaran bahwa ada sekelompok orang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan kebajikan sedangkan yang bersangkutan melupakan dirinya sendiri untuk berbuat kebajikan itu. Ada kalimat “Afala Ta’qilun” (diartikan dengan apakah kamu tidak mengerti). Ini menunjukkan ada manusia yang diberi akal, tetapi akal itu tidak digunakannya untuk berpikir dan berzikir bahkan terhadap dirinya sendiri sekalipun dilupakannya. Padahal akal itu sendiri sebagai alat untuk berpikir; dan Allah swt telah memuliakan manusia dengan akal, menempatkan pada kedudukan yang tinggi, serta menjadikan sebagai sumber ilmu, obyek telaah ilmu, dan dasar-dasar ilmu. Realitasnya masih ada di antara manusia yang tidak memanfaatkan akalnya sebagai daya memahami dan menggambarkan sesuatu, dan juga menjadikan daya pendorong lahirnya moralitas terpuji.
Ulul Albab itu salah satu yang melekat pada dirinya selalu mengembangkan imajinasinya. Imajinasi lahir sebagai implikasi dari perpaduan antara aktivitas fikir dan zikir. Untuk bergerak maju, perlunya imajinasi masa depan dan tidak terjebak dalam sikap reaktif yang hanya menyita energi tetapi tidak melahirkan kemanfaatan. Berfikir masa depan sebagai akibat dari perhatiannya terhadap eksistensi waktu yang masih bersamanya. Hanya mereka yang memiliki akal yang baik yang dapat menerapkan hal itu. Kelompok Ulul Albab mengikhtiarkan pikiran yang kritis, kreatif dan kontemplatif untuk menguji, merenung, mempertanyakan, mengkritisi dan mengimajinasi segala yang telah diciptakan Allah swt selanjutnya dijadikan bahan mengakui kemahakuasaanNya sehingga lahirlah sikap berserah diri seperti tergambar pada ayat 190 Surah Ali Imran tersebut di atas. Sikap ini sebagai implementasi dari anjuran “membaca dan terus membaca” yang diperintahkan pada surah al-A’laq.
Selanjutnya dalam proses pengamalan dari hasil pikir dan nalar terhadap fenomena dapat dipastikan tidak luput dari masalah dan problematika. Bagi kelompok Ulul Albab saat inilah perlunya zikir. Bukankah dengan berzikir hati dan pikiran akan menjadi tenang? Berzikir adalah kegiatan mengingat atau mendapat peringatan. Kegiatan mengingat dan mengingatkan salah satu ciri dan karakteristiknya. Mereka mengamalkan petunjuk dari Allah swt: maka berilah peringatan, sebab dengan peringatan itu akan memberi manfaat.
Pantaslah kelompok manusia demikian termasuk manusia yang sangat beruntung disebabkan mencermati pergantian waktu untuk dijadikan momentum instrokpeksi diri. Mereka setiap saat melakukan amalan ketataan, muhasabah diri, peningkatan analisis pikir dan zikir untuk persiapan hari esok yang lebih baik selagi waktu masih bersamanya. Mereka sangat taat terhadap informasi bahwa “orang beriman itu, selalu meningkatkan nilai ketakwaannya dan mempersiapkan apa-apa yang harusnya dilaksanakan di masa mendatang dengan penuh harapan untuk kesuksesan. Renungkanlah waktu terus berjalan sesuai kehendak yang menciptakanNya, dan tidak akan pernah kembali menyapa kepada setiap yang dilewatinya; karena itu pastikan ketika kita masih bersamanya maka waktu itu terisi serta termanfaatkan pada jalan ketaatan kepada Allah swt.
Semoga tahun baru ini akan terus menjadi waktu yang sangat penting dan tak ternilai yang dimanfaatkan oleh setiap manusia dengan sebaik mungkin sehingga mendatangkan manfaat besar dalam kehidupan umat secara kolektif. Semoga pula jejak kelompok yang dipredikatkan Allah sebagai Ulul Albab dapat diikuti oleh setiap orang.
Wallahul A’lam !
Penulis adalah Dosen Tetap Yayasan Universitas Alkhairaat.