Rantai Panjang Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sudahkah Kalian Bertindak?
Oleh: dr. Nur Rahmi Rafid, Sp.FM*
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan pola perilaku kekerasan yang terjadi pada suatu hubungan, terutama antara suami-istri. Aksi KDRT dapat berupa kekerasan fisik, seksual, verbal, emosional, dan ekonomi. KDRT merupakan salah satu kasus pelik yang masih kerap terjadi di Indonesia. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) per Januari 2023, kasus KDRT di seluruh Indonesia mencapai angka 16.707. Mayoritas korban KDRT adalah perempuan dengan angka kasus sebesar 14.874 (89%).
Faktor utama yang berkontribusi dalam KDRT adalah kepercayaan bahwa tindak kekerasan tersebut dapat diterima. Beberapa faktor lain yang berkontribusi meliputi pengangguran, masalah kesehatan mental, kurangnya kemampuan mengatasi masalah, dan ketergantungan berlebih terhadap pelaku. Sebagian besar pelaku KDRT cenderung memiliki kepribadian narsisistik, kurang memiliki empati, dan merasa bahwa keinginannya merupakan hal yang paling penting di atas segalanya. Mereka akan memanipulasi korban secara psikologi dengan menanamkan perasaan bahwa perilaku kekerasan tersebut dilakukan karena kesalahan korban sendiri alih-alih karena egonya.
Salah satu pola khas KDRT adalah terjadi berulang kali. Pelaku akan terus menerus mengulangi perilakunya, bahkan dengan tingkat kekerasan yang semakin berat. Korban kekerasan pun juga sulit untuk terlepas dari hubungan toksik tersebut. Hal ini sesuai dengan teori siklus kekerasan (cycle of abuse) yang dikemukakan oleh Lenore E Walker. Siklus tersebut terdiri dari empat tahap: ketegangan (tensions building), insiden kekerasan (incident), rekonsiliasi (reconciliation) dan Situasi tenang (calm).
Pada tahap awal, pasangan yang tidak mampu mengatasi konflik dengan baik akan membentuk ketegangan. Kondisi tersebut akan semakin memuncak hingga terjadi insiden kekerasan. Pada fase rekonsiliasi, pelaku meminta maaf, dan tidak jarang, berjanji untuk tidak mengulangi. Kondisi tersebut akan diikuti dengan keadaan tenang tanpa konflik untuk beberapa waktu hingga konflik kembali muncul.
Meskipun sulit untuk keluar dari lingkaran kekerasan, ada beberapa upaya yang dapat diusahakan, khususnya dengan bantuan orang yang tepat. Berikut upaya-upaya tersebut, sediakan dokumen penting, pakaian, uang darurat, dan hal-hal penting di tempat yang aman di luar jangkauan pelaku, menghubungi pihak-pihak berwenang yang menangani kasus KDRT, siapkan bukti-bukti kekerasan dan ceritakan kejadian tersebut kepada seseorang yang paling kamu percaya untuk memberikan dukungan.
Jika kalian berada pada hubungan yang mengalami kekerasan, tanamkan pada diri kalian bahwa; kalian bukanlah sebab pasangan melakukan tindak kekerasan, kalian berhak diperlakukan dengan baik, kalian berhak mendapatkan kehidupan yang aman dan bahagia, anak-anak kalian berhak mendapatkan kehidupan yang aman dan bahagia dan kalian tidak sendiri, ada orang -orang yang mungkin bisa membantu untuk keluar dari jerat. Jangan pernah menyerah dan pasrah jika kalian menjadi korban KDRT. Segera bergerak dan cari bantuan!
KDRT merupakan tindak pidana yang ketentuannya sudah diatur oleh undang-undang. Larangan KDRT tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004 pasal 5 yang mengatakan: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga.” Orang sekitar yang melihat kejadian berkewajiban untuk membantu korban KDRT sebagaimana yang tertuang pada UU No. 23 Tahun 2004 pasal 15: “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya- upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk; mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan.
Hukuman pelaku KDRT tergantung pada derajat berat akibat yang ditimbulkan pada korban. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 44 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dihukum penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Ayat (2) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Ayat (3) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak 45.000.000 (empat puluh lima rupiah)”. Sedangkan, jika pelaku melakukan kekerasan psikis, hukuman yang didapat sesuai pasal 45 yaitu penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda sebesar 9.000.000 (sembilan juta rupiah). Jika pelaku melakukan perbuatan kekerasan seksual, hukuman yang didapat sesuai pasal 46, dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling besar 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).
Jika kekerasan tersebut mengakibatkan luka yang tidak memiliki harapan sembuh, mengalami gangguan daya pikir selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut- turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau menyebabkan tidak berfungsinya alat reproduksi, sesuai pasal 48, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
*Penulis adalah Dosen Yayasan Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat.