Menghitung Hari Menuju Indonesia Baru; Politik Uang dan Hukumnya dalam Islam, Dua Hal Perusak Demokrasi

Menghitung Hari Menuju Indonesia Baru; Politik Uang dan Hukumnya dalam Islam, Dua Hal Perusak Demokrasi

Oleh Dr. Ibrahim Ismail, S.Ag., M.HI

Pemilu Jurdil adalah kepanjangan dari pemilihan umum yang digelar pemerintah setiap 5 tahun sekali, dengan jaminan berlangsung Jujur dan  Adil. Pemilu menjadi ajang kompetisi bagi para putra putri bangsa untuk mencalonkan diri karena memang undang-undang menjamin setiap warga negara memiliki hak yang sama menjadi pemimpin, dipilih dan memilih.  Pemilu sesungguhnya adalah pesta rakyat dalam berdemokrasi. Sebab didalamnya ada ruang bebas bagi rakyat untuk melakukan evaluasi atas perjalanan pembangunan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang 1945. Kesempatan rakyat untuk melakukan penataan, perbaikan atas upaya yang sudah dilakukan selama lima tahun sebelumnya, terutama memilih Pemimpin.

Singkatnya, pemilu sebagai sistem yang dipandang strategis dalam memproses dan melahirkan para pemimpin bangsa yang ideal, menjadi wakil rakyat baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD RI. Harus dipastikan berjalan baik, aman, damai dan ceria penuh tanggung jawab. Menuntut penyelenggara  harus berintegritas tinggi dan memiliki komitmen kebangsaan kuat, agar terhindar dari praktek-praktek pragmatisme yang kemudian mencederai proses demokrasi dan menghasilkan pemilu yang tidak berkualitas dan hanya merugikan negara dan pasti rakyat bangsa ini

Sebagai anak bangsa tentu menghendaki dan bahkan berdo’a agar pemilu berjalan sesuai aturan yang telah ada melalui sistem kepemiluan dengan perangkat yang sudah disahkan oleh negara secara konstitusional untuk dipedomani dan ditaati. Oleh karena itu, memperhatikan masa waktu yang tinggal menghitung hari, menuju hari H pada tanggal 14 Pebruari 2024. Sebagai anak bangsa mengingatkan kita semua warga negara untuk mewaspadai beberapa hal yang dipastikan dapat merusak dan mencederai proses pesta demokrasi yang sedan berjalan ini.

Bila mengamati fenomena para kompetitor disemua level akhir-ahir ini,  perlu kematangan dan kedewasaan kita sebagai anak bangsa menyikapinya. Semua kompetitor berusaha menang dan memenangkan pilihannya. Bahkan penggunaan pola dengan segala cara ditempuh, sangat mungkin dilakukan. Hal yang patut dijaga ketat dengan pengawasan semua elemen bangsa adalah terjadinya kecurangan yang dilakukan dengan sengaja melanggar peraturan yamg sudah ditetapkan secara sah oleh konstitusi negara.

Sebut saja misalnya hal yang disetiap pesta demokrasi digelar selalu saja tidak sepi dengan isu yang kemudian terbukti menjadi kasus yang mengarah pada TERCEDERAINYA DEMOKRASI, yaitu “Money Politik”. Betapa tidak, akibat dari adanya praktek ini bisa bermuara pada terancamnya stabiltas negara bangsa dan bahkan menghancurkan sendi-sendi moral yang telah ada.

Dengan cara itu, hanya akan membuka peluang bagi mereka yang punya uang untuk bisa duduk berkuasa mewakili rakyat, sementara mereka yang seharusnya bisa diharapkan untuk duduk mewakili rakyat dengan berbagai pengetahuan alias kompetensi dan bahkan seleksi integritas yang baik dari masyarakat justru terhambat dan tidak bisa duduk hanya karena dikalahkan oleh mereke yang notabene menggunakan uang dalàm berpolitik. Sungguh sangat memprihatinkan dan perlu dikhawatirkan jika hal ini terus terjadi. Olehnya mari  berusaha semampu kita untuk menyadarkan masyarakat dan meminta mereka untuk selektif dan kedepankan kepentingan bangsa berdasarkan pedoman agama utamanya dalam mengikuti demokrasi.

Beberapa kutipan teoritis ;

Pengertian Politik Uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.

Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.

Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye.  Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran, jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.

Mengapa money politik dalam pemilu dilarang? dikatakan demikian, sebab politik uang adalah perbuatan curang dalam Pemilihan  Umum (Pemilu) yang hakikatnya sama dengan korupsi.

Apakah yang dimaksud dengan politik uang? money Politic atau jual beli suara pada dasarnya adalah membeli kedaulatan rakyat. Selain itu, rakyat yang menerima uang sebenarnya menggadaikan kedaulatannya untuk masa waktu tertentu.

Bagaimana pandangan Islam tentang politik uang? sementara itu dalam Islam, praktik politik uang hukumnya adalah haram. Hal ini karena praktik tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan tujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Politik uang itu dilarang karena merusak sistem sosial dan politik. Tidak semata-mata dilihat dari kepentinga pemberi suap dan penerima suap dalam jangka pendek, tapi juga kepentingan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apakah politik uang melanggar hukum? dalam sebuah hasil penelitian disebutkan bahwa praktik politik uang telah menjadi hal yang umum dalam pemilihan umum di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal. Secara sederhana, definisi politik uang atau yang sering disebut money politic adalah praktik pemberian uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk mempengaruhi pilihannya dalam pemilu.

Perlu kita sadari bahwa praktik ini dapat merusak demokrasi karena dapat menghilangkan pilihan bebas pemilih dan mendorong penyalahgunaan kekuasaan. Lebih jauh lagi, praktik ini juga mendorong prilaku korupsi karena adanya biaya politik yang tinggi. Pasalnya, calon peserta pemilu atau pilkada harus mengeluarkan biaya puluhan hingga ratusan milyar untuk memenangkan pemilihan. Biaya ini dapat digunakan untuk membayar tim kampanye, iklan, dan menyogok pemilih untuk meraup suara pemilih.

Untuk menutupi biaya politik yang tinggi, calon peserta pemilu atau pilkada yang melakukan politik uang akan cenderung untuk melakukan korupsi setelah terpilih. Logika sederhananya, seorang yang menggelontorkan modal di awal yang besar, pasti ingin modal kembali. Dengan gaji yang sedikit, maka solusinya adalah dengan korupsi. Korupsi dapat dilakukan dengan cara menyalahgunakan jabatan atau kewenangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Sejatinya, di Indonesia, larangan politik uang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal 523 ayat 1,2, dan 3 dan juga pada Pasal 515 dalam UU Pemilu tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Sementara itu dalam Islam lebih jauh menjelaskan, praktik politik uang hukumnya adalah haram. Hal ini karena praktik tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan tujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam Al-Baqarah [2] ayat 188, Allah berfirman terkait larangan memakan harta dengan cara yang haram.

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan salah satu yang terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah menyuap atau menyogok. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.

Allah melarang praktik menyogok ini, karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Tindakan suap dapat menyebabkan orang yang berwenang mengambil keputusan yang tidak adil dan tidak jujur, karena mereka telah dipengaruhi oleh suap yang diterimanya. Hal ini dapat merugikan pihak lain yang seharusnya mendapatkan haknya.

Begitupun dalam hadits, Nabi Muhammad bersabda bahwa Allah telah melaknat penyuap dan penerima suap. Laknat adalah kutukan dari Allah swt, yang berarti pelakunya akan mendapatkan siksa dan murka dari Allah swt.

عن عبد الله بن عمرو قال لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

Artinya; “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap.”  [HR Tirmidzi dan Abu Dawud]

Lebih jauh, dalam hadits tersebut, Rasulullah saw tidak hanya melaknat penyuap dan penerima suap, tetapi juga melaknat orang yang menjadi perantara antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa suap menyuap adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah swt dan Rasul-Nya.

Pelanggar bisa dijerat Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, dengan sanksi pidana berupa kurungan penjara selama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta,” Mengutip kata Anggota Bawaslu NTB Divisi Informasi, Data, dan Komunikasi, Suhardi, kemarin.

*Penulis adalah Abnaul Khairaat/Pemerhati Politik Budaya dan Agama di Kabupaten Poso

 

 

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *